IMAM
ABU DAWUD
A.
Nama dan Nasab Serta
Keluarganya
Abu Dawud Sulaiman bin Al Asy’ats bin Ishaq bin Basyir
bin Syaddad bin Yahya bin ‘Amru bin ‘Imron[1] Al
Azdi As Sijistani[2]. Seorang
imam, syaikhnya hadits, hafidz ternama dan seorang muhadits negeri
Bashroh.
Beliau mempunyai saudara
(kakak) yang bernama Muhammad yang lebih tua darinya, yang menemani
beliau ketika bepergian. Ia meriwayatkan dari Ashab Syu’bah dan Ats
Tsauri. Keponakannya yang meriwayatkan darinya. Ia meninggal sesaat sebelum Abu
Dawud meninggal.
Anak beliau bernama Abu Bakr, yang lahir di Sijistan
pada tahun 230 Hijriyah. Dan meninggal ketika berumur 86 tahun lebih beberapa
bulan. Ia menemani ayahnya bepergian ketika masih kecil. Ia juga pernah melihat
jenazah Ishaq bin Rohawaih pada bulan Sya’ban tahun 238 Hijriyah. Guru yang
pertama kali ia dengar adalah Muhammad bin Aslam Ath Thusy. Ada yang berkomentar bahwa ia lebih utama dan
lebih hafal dibanding ayahnya.[3]
B.
Kelahiran dan Wafatnya
Beliau dilahirkan di Basroh pada tahun 202 Hijriyah.
Beliau wafat di Bashroh juga pada hari Jum’at, empat belas hari sebelum
berakhirnya bulan Syawal, yaitu pada tanggal 16 Syawal 275 Hijriyah.
C.
Para
Gurunya
Di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin
Ma’in, Qutaibah bin Sa’id Ats Tsaqofi, Musyaddad bin Masyrohid, Abu Salamah
Musa bin Isma’il, Hasan bin ‘Amru As Sadusi, Al Hafidz Muhammad bin Basyar bin
‘Utsman, Al Hafidz Zuhair bin Harb bin Syaddad, ‘Ubaidulloh bin ‘Umar bin
Maisaroh, Ishaq bin Ibrohim bin Suwaid, Abu Hafsh ‘Umar bin Al Khotthob As
Sijistani yang wafat pada tahun 264 Hijriyah, ‘Isa bin Yunus Ath Thurthusi, Al
Hafidz Haiwah bin Syuraih bin Yazid, Wahab bin Baqiyah bin ‘Utsman, Abu Ishaq
Ibrohim bin Musa bin Yazid, Al Hafidz Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan, Sulaiman
bin Dawud bin Hamad, Abu Al Fadhl Syuja’ bin Makhlad Al Baghowi, dan Imam Al
Hafidz Hisyam bin ‘Abdul Malik Al Bahili, serta masih banyak yang lainnya.
D.
Para
Muridnya
Di antara orang yang meriwayatkan dari beliau adalah
gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani[4], Al
Imam Al Hafidz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Sauroh bin Musa bin Adl Dlohak
Asulami At Tirmidzi Adh Dhoriir (pengarang kitab Sunan) yang wafat pada tahun
279 Hijriyah, Al Imam Al Hafidz Al Qodhi Abu ‘Abdirrohman Ahmad bin Syu’aib bin
‘Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar An Nasa’i (pengarang kitab Sunan) yang wafat
sebagai syahid -insyaalloh- pada tahun
304 Hijjriyah, anaknya sendiri ‘Abdulloh bin Sulaiman bin Al Asy’ats, Ahmad bin
Muhammad bin Harun Al Khollal, ‘Ali bin Husain Al ‘Abid, Muhammad bin Makhlad
Ad Dauri, Isma’il bin Muhammad bin Ash Shofar, Ahmad bin Sulaiman An Najad, Abu
‘Awanah Ya’qub bin Ishaq Al Isfroyaini, Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abdirrozzaq
bin Dasah At Timar, Abu ‘Ali Muhammad bin Ahmad bin ‘Umar Al Lu’lu’i[5],
serta masih banyak lagi yang lainnya.
E.
Kedudukan Ilmunya Dan
Pujian Para Ulama Terhadap Beliau
Para ulama bersepakat
atas pujian yang ditujukan kepada Abu Dawud dan mensifatinya dengan hafalannya
yang sempurna dan ilmunya yang banyak serta yakin atasnya kewaro’an, diin, kepahamannya
yang mendalam dan cemerlang dalam bidang hadits dan yang lainnya.
Imam An Nawawi meriwayatkan dari Al Hafidz Al Harwi, beliau
berkata,
((كان أبو داود أحد حفاظ الإسلام لحديث رسول الله
صلى الله عليه و سلم و علمه و علله و سنده في أعلى درجات النسك و العفاف و الورع و
من فرسان الحديث))
“Abu Dawud merupakan salah seorang hufadz Islam untuk hadits-hadits
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beserta dengan ilmu, kwalitas,
dan sanadnya pada derajat yang paling tinggi dalam usaha, kebaikan , kewaro’an dan termasuk pahlawan penjaga hadits.”
Imam An Nawawi mengatakan dalam Syarh Sunan Abi
Daawud, “Hendaklah seorang yang sibuk dengan ilmu fiqih dan yang lainnya
bersungguh-sungguh dengan Sunan Abi Daawud dengan mengenali dan
mengetahuinya secara sempurna. Maka sesungguhnya sebagian besar
hadits-haditsnya dijadikan sebagai hujjah dikarenakan mudah dalam
memperolehnya dan dalam meringkas hadits-haditsnya, kecemerlangan karyanya
serta kesungguhannya dalam penertibannya.”
Yang lain mengatakan, "Ibnu Mas'ud menyerupai Nabi
Muhammad Shollallohu 'Alaihi wa Sallam dalam memberi petunjuk dan pengajarannya
serta perangainya. Alqomah seperti Ibnu Mas'ud, Ibrohim seperti Alqomah,
Manshur menyerupai Ibrohim, Sufyan seperti Manshur, Waki' seperti Sufyan, Ahmad
menerupai Waki' dan Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal."[6]
Musa bin Harun berkata,
((خلق أبو داود في الدنيا للحديث و في الآخرة للجنة))
“Abu Dawud diciptakan di dunia
untuk hadits dan di akhirat untuk jannah.”[7]
Ibnu Hibban berkata,
((أبو داود أحد أئمة الدنيا فقها و علما و حفظا و نسكا))
“Abu Dawud merupakan salah satu
imam dunia dalam hal kepahaman, keilmuan, hafalan dan perangai.”
Ibrohim Al Harobi mengatakan,
((ألين لأبي داود الحديث
كما ألين لداود الحديد))
“Hadits dilunakkan (dimudahkan)
bagi Abu Dawud sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Daud ‘Alaihissalam.”
F.
Pengalaman Belajar dan
Kebijaksanaan Beliau
Abu Dawud merupakan orang yang pertama kali keluar dari
negeri Sijistan. memasuki kota Baghdad
ketika berumur 18 tahun, dan hal itu sebelum beliau melihat kota Bashroh. Kemudian beliau melakukan
perajalanan dari kota Baghdad menuju Bashroh.
Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan, “Abu Dawud merupakan
seorang imam para ahli hadits di zamannya tanpa ada pertentangan, yang telah
mendengar di Mesir, Hijaz, Syam, dua Iraq (‘Irooqoin)[8]
dan Khurosan. Beliau menulis di Khurosan sebelum beliau keluar ke Iraq dalam
negerinya dan Harroh, dan juga menulis di Baghlan[9]
dari Qutaibah, dan di Ar Roi dari Ibrohim bin Musa. Kecuali pada sanadnya yang
tertinggi, yaitu Al Qo’nabi dan Muslim bin Ibrohim… dan yang disebut sebagai
Jama’ah.” Beliau juga berkata, “Beliau juga telah lama menulis di Naisabur,
yang kemudian berangkat bersama dengan Abu Bakr, anaknya ke Khurosan”[10]
Abu ‘Ubaid Al Ajuri meriwayatkan dari Abu Dawud, beliau
berkata, “Aku memasuki Kufah pada umurku yang ke-21. Dan aku tidak melihat
orang yang semisal dengan Abu An Nadlr Al Farodisy di Damsyiq (Damaskus), di
mana beliau merupakan orang yang banyak menangis, dan aku telah menulis darinya
sejak umurku yang ke-21.[11]
Al Khotthobi berkata; ’Abdulloh bin Muhammad Al Miski
mengatakan kepadaku; Abu Bakr bin Jabir, pelayan Abu Dawud mengatakan kepadaku,
ia berkata, “Aku bersama Abu Dawud di Baghdad, maka kami sholat Maghrib.
Kemudian Al Amir Abu Ahmad Al Muwaffaq, gubernur paada saat itu, mendatangi
beliau, lalu masuk, kemudian Abu Dawud menyambutnya seraya mengatakan, “Apa
yang membuat seorang pemimpin datang pada saat yang seperti ini?” Ia menjawab,
“Ada tiga
perkara.” Beliau berkata, “Apakah itu?” Ia menjawab, “Hendaklah engkau
berpindah ke Bashroh dan menjadikannya sebagai tempat tinggal, sehingga para
penuntut ilmu mendatangimu dan manusia bepergian kepadamu. Karena sesungguhnya
Bashroh telah terpecah, sehingga manusia mengabaikannya, setelah berlalunya
peristiwa Zinji. Beliau berkata, “Ini yang pertama.” Ia mengatakan, “Engkau
meriwayatkan kepada anak-anakku kitab As Sunan.” Beliau menjawab, “Ya,
lalu apa yang ketiga?” Ia berkata, “Engkau memberikan tempat duduk khusus untuk
mereka. Karena keturunan pemimpin tidak duduk beserta dengan orang-orang
biasa.” Beliau menjawab, “Adapun untuk yang satu ini, aku tidak setuju. Karena
semua manusia dalam hal menuntut ilmu adalah sama ataupun sederajat.”
Ibnu Hajar mengatakan, “Maka mereka (anak-anak para
pemimpin) mengahadiri dan duduk di atas tikar dan mendengarkan ilmu bersama
dengan orang-orang biasa.”[12]
G.
Karya-karya beliau[13]
- As Sunan,
- Al Maroosil,
- Ar Roddu ‘Ala Al qodariyyah,
- An Naasikh wa Al Mansuukh,
- Maa Tafarroda Bihi Ahlu Al Amshoor,
- Musnad Maalik bin Anas,
- Al Masaail,
- Ma’rifah Al Auqoot,
- Al Ikhwah, dsb.
H.
Abu Dawud dan kitab
Sunannya
Para ulama hadits sebelum Abu Dawud telah menulis
berbagai kitab Jami’, Musnad dan yang semisalnya sehingga terkumpullah
kitab-kitab mereka menjadi As Sunan maupun Al Ahkam yang berupa berita-berita,
kisah-kisah, adab maupun peringatan-peringatan. Adapun kitab Sunan yang murni,
belum ada salah seorang di antara mereka pun yang bermaksud untuk
memurnikannnya sampai datanglah Abu Dawud dan beliau berusaha untuk hanya
mengumpulkan hadits-hadits mengenai hukum-hukum saja. Dan beliau bersepakat
atasnya padahal orang-orang belum bersepakat atasnya. Beliau juga telah
mengkoreksikannya kepada Imam Ahmad bin Hanbal dengan bangga beliau memujinya.[14]
Ibrohim Al Harobi mengatakan,
((لما صنف أبو داود هذا
الكتاب ألين له الحديث كما ألين لداود الحديد))
“Ketika Abu Dawud mengarang
kitab ini (kitab As Sunan) seakan-akan hadits dilunakkan (dimudahkan) bagi
beliau sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Daud ‘Alaihissalam.”[15]
1.
Nama kitab Abu Dawud
Kitabnya telah masyhur di kalangan para ulama dengan nama As
Sunan[16], dari
sini nampak bahwasannya penulis sendirilah yang menamai kitabnya dengan nama As
Sunan, sebagaimana perkataannya ketika beliau menulis surat kepada penduduk
Makkah,
((فإنكم سألتم أن أذكر لكم الآحاديث التي في كتاب السنن أ هي أصح
ما عرفت في الباب...))
“Maka sesungguhnya Kalian telah meminta
supaya aku memberikan kepada kalian hadits-hadits yang terdapat kitab Sunan,
apakah hadits-hadits tersebut merupakan hadits Shohih yang akau ketahui
dalam babnya…”
Beliau juga berkata pada pembahasan yang lainnya dalam
tulisannya tersebut,
((و إن من الآحاديث في كتابي السنن ما ليس بمتصل و هو مرسل...))
“Sesungguhnya jika ada hadits yang terdapat
dalam kitab Sunanku ada yang tidak bersambung sanadnya, maka ia adalah mursal…”
2.
Pujian para ulama terhadap
kitab Sunan beliau
Abu Bakr bin Dasah mengatakan, “Aku mendengar Abu Dawud
berkata,
((كتبت عن رسول الله صلى الله عليه و سلم خمسمائة
ألف حديث، انتخبت منها ما ضمنته هذا الكتاب -يعني كتاب السنن-، جمعت فيه أربعة
آلاف و ثمانمائة حديث، ذكرت الصحيح و ما يشبهه و ما يقاربه و يكفي الإنسان لدينه
من ذلك أربعة أحاديث، أحدها : قوله صلى الله عليه و سلم : {الأعماب بالنيات} و
الثاني : {من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه} و الثالث : {لا يكون المؤمن مؤمنا
حتى يرضى لأخيه ما يرضى لنفسه} و الرابع : {الحلال بين}))
‘Aku
menulis dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam 500 ribu hadits,
aku telah memilih di antaranya yang kucantumkan dalam kitab As Sunan,
yang kucantumkan di dalamnya 4800 hadits, aku telah menyebutkan yang shohih
dan yang semisalnya serta yang lebih dekat dengannya. Dan cukuplah bagi
seseorang bagi diinnya empat hadits darinya, yang pertama, sabda Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Segala amal perbuatan tergantung pada
niatnya’[17],
yang kedua, ‘Di antara sifat baik islamnya seseorang adalah ia meninggalkan
segala yang tidak bermanfaat bagi dirinya’[18],
yang ketiga, ‘Seseorang belum disebut sebagai seorang mu’min, sehingga ia
ridlo dengan yang diberikan kepada saudaranya sebagaimana ia ridlo apa yang ia
berikan kepada dirinya’[19],
yang ke empat, ‘Yang halal itu jelas’[20]. ”[21]
Dan dari Al Khotthobi, beliau berkata, “Aku mendengar Abu
Sa’id bin Al A’robi dan kami pada waktu itu sedang mendengarkan darinya kitab As
Sunan miliknya Abu Dawud, dan beliau menunjuk kepada tulisan yang berada
ditangannya sembari berkata,
((لو أن رجلا لم يكن عنده شيء من كتب العلم إلا
المصحف الذي فيه كلام الله ثم هذا الكتاب، لم يحتج معهما إلى شيء من العلم البتة))
‘Kalaupun
ada seseorang yang tidak mempunyai kitab ilmu satu pun kecuali mushaf yang
terdapat di dalamnya firman Alloh dan kitab ini, niscaya ia tidak akan
memerlukan sama sekali kitab ilmu yang lainnya.’”
Abu Dawud telah mengumpulkan dalam kitabnya ini,
hadits-hadits tentang pokok-pokok ilmu dan induk-induk sunnah serta hukum-hukum
fiqih yang tidak kita ketahui pada zaman dahulu sebelumnya maupun akhir-akhir
ini yang baru didapati.
Imam Abu Sulaiman Al Khotthobi yang wafat tahun 338 Hijriyah berkata,
“Ketahuilah Rohimakumulloh… bahhwasannya kitab As Sunan karangan Abu
Dawud adalah merupakan kitab yang mulia, yang tidak ada kitab karangan yang
berbicara tentang hukum-hukum agama yang semisalnya, dan seluruh manusia telah
menerimanya secara sempurna sehingga menjadi sebuah hukum di antara kalangan
para ulama dan tingkatan para ahli fiqih pada perbedaan madzhabnya. Maka dari
kitab tersebutlah, mereka berbicara dan minum (menjadikan sumber) serta telah
menjadi pegangan penduduk Iraq, Mesir, Maroko (Maghrib), dan masih banyak lagi
di berbagai penjuru dunia yang lainnya. Adapun penduduk Khurosan, maka
kebanyakan mereka telah berpegang terhadap kitabnya Muhammad bin Isma’il (Imam
Bukhori) dan Muslim bin Hajjaj dan siapa saja yang menurut tujuan mereka berdua
dalam mengumpulkan hadits-hadits yang shohih yang sesuai dengan
persyaratan mereka dalam membaguskan dan membersihkan perkataan. Kecuali bahwasannya
kitab Abu Dawud lebih baik peletakannya dan lebih banyak mengandung
permasalahan fiqih serta mendetail. Adapun kitab Abu ‘Isa merupakan kitab yang
cukup baik, dan semoga Alloh mengampuni jama’ah mereka dan berbuat baik atas
kebaikan niat akan apa yang mereka usahakan untuk-Nya dengan memberi mereka
pahala dengan rahmat-Nya.[22] Dan
kitab beliau ini telah diperbolehkan oleh para ahli hadits dan ulama atsar
dengan ketakjuban mereka, yang isinya dapat memukul hati onta dan perjalanan
kepadanya menjadi abadi.”
3.
Manhaj Imam Abu Dawud dalam
kitab Sunannya
Hal ini dapat diketahui dari suratnya kepada penduduk Makkah,
dan Ibnu Sholah teklah menukil sebagiannya, perkataan beliau, “Maka
sesungguhnya kalian telah meminta supaya aku memberikan kepada kalian hadits-hadits
yang terdapat kitab Sunan, apakah hadits-hadits tersebut merupakan
hadits Shohih yang aku ketahui dalam babnya… Maka ketahuilah bahwasannya
keluruhannya adalah seperti itu, kecuali apabila ada yang diriwayatkan dari dua
jalur, salah satunya isnadnya lebih unggul, sedangkan yang lainnya merupakan yang
lebih unggul ataupun terdepan dalam masalah hafalannya. Maka apabila aku
menuliskan hal yang seperti itu (yaitu yang lebih terdepan dalam masalah
hafalan) dan aku tidak melihatnya sampai sepuluh hadits dalam kitabku ini. Dan
aku tidak menulis dalam suatu bab kecuali hanya satu atau dua hadits saja. Dan
apabila di dalam suatu bab tercantum banyak hadits-hadits yang shohih,
maka itu merupakan tambahan saja yang aku maksudkan supaya lebih banyak
manfaatnya. Dan apabila aku mengulangi dalam mencantumkan hadits dalam bab
tersebut dari dua atau tiga jalur, maka hal itu merupakan tambahan komentar
dalam bab tersebut. Mungkin juga di dalamnya terdapat kata tambahan dalam
hadits-hadits tersebut. Mungkin juga ada hadits panjang yang aku ringkas
dikarenakan, jika aku menulisnya sesuai panjangnya hadits, maka tidak akan
diketahui sebagian yang mendengarnya, dan permasalahan fiqih di dalamnya tidak
akan dapat dipahami darinya. Oleh sebab itulah aku meringkasnya. Adapun
hadits-hadits yang mursal, maka ada sebagian ulama terdahulu yang berhujjah
dengannya seperti Sufyan Ats Tsauri dan Imam Malik serta Al Auza’i sehingga
datanglah Asy Syafi’i yang kemudian ia membahas tentangnya dan ia diikuti oleh
Ahmad bin Hanbal serta yang lainnya. Maka apabila ada musnad yang tidak
tergolong dalam hadits-hadits mursal, maka yang berupa hadits mursal
dapat dipakai sebagai hujjah, akan tetapi kekuatannya tidak sebagaimana
hadits yang sanadnya bersambung (muttashil). Dan di dalam kitab Sunan
yang telah aku tulis, tidak ada suatu riwayat hadits pun dari seorang laki-laki
yang haditsnya matruk[23].
Dan apabila di dalamnya terdapat hadits munkar, aku akan menjelaskan,
bahwasannya hadits tersebut merupakan hadits munkar. Dan aku tidak
meletakkannya dalam bab yang selainnya. Dan tidak ada satu hadits pun yang
terdapat dalam kitabku yang wahnun syadidun, kecuali telah aku jelaskan.
Dan di antaranya, juga ada sanad yang tidak shohih, dan apa yang tidak
aku singgung sama sekali di dalamnya, berarti sholih[24]
(bersih/tidak diragukan) serta sebagiannya ada yang lebih shohih dari
yang lainnya. Dan ia merupakan kitab yang engkau tidak akan menolak di antara
hadits-hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Ketahuilah
bahwasannya kesemuanya itu berada di dalamnya. Dan aku tidak mengetahui sesuatu
pun setelah Al Qur’an yang dipegangteguhkan bagi manusia untuk mempelajarinya
daripada kitab ini. Dan tidak masalah, apabila ada seseorang yang tidak menulis
suatu ilmu apapun setelah ia menulis kitab ini. Dan apabila ia melihat apa yang
ada di dalamnya dan mentadabburinya serta memahaminya seketika itu pula,
niscaya ia mengetahui kadarnya. Adapun mengenai perkara ini, yaitu perkara Ats
Tsauri, Malik dan Asy Syafi’i, maka hadits-hadits ini merupakan pokok-pokoknya.
Dan hadits-hadits yang aku cantumkan dalam kitab As Sunan, kebanyakan
haditsnya merupakan hadits Masyhur. Dan hal tersebut menurut setiap orang yang
menulis suatu bagian daripada banyak hadits, kecuali bahwasannya dalam
membedakannya, tidak semua manusia dapat melakukannya. Maka hadits Masyhuur yang sanadnya bersambung dan merupakan hadits
Shohih, tidak akan ada seorang pun yang dapat menolaknya darimu. Dan
adapun mengenai hadits Ghoriib, ia merupakan hadits yang tidak bisa
dipakai untuk berhujjah walaupun diriwayatkan oleh para ulama yang
merupakan rowi yang tsiqqoh. Ibrohim An Nakho’i mengatakan,
((كانوا يكرهون الغريب من الحديث))
“Mereka semua membenci akan adanya
hadits Ghoriib.”
Yazid bin Abi Hubaib berkata,
((إذا سمعت الحديث، فأنشده كما تنشد الضالة فإن عرف، و إلا
فدعه...!))
“Apabila aku mendengar
hadits tersebut (hadits Dlo’if), maka aku akan membacanya sebagaimana
orang-orang sesat membacanya jika hal tersebut diketahui. Namun jika tidak,
maka tinggalkanlah.”
Dan aku tidak mencantumkan dalam kitab As Sunan,
kecuali yang berupa hukum-hukum. Dan keempat puluh ribu delapan ratus ini,
seluruhnya merupakan hadits tentang hukum-hukum. Adapun hadits-hadits yang
banyak lainnya yang merupakan dalam masalah Zuhud, Fadlo’il dan yang lainnya,
aku tidak mencantumkan di dalamnya… Wassalamu ‘Alaikum…”[25]
4.
Syarat-syarat Abu Dawud dan
Ashhab As Sunan yang lainnya
Abu Al Fadhl Muhammad bin Thohir berkata dalam kitabnya Suruuth
Al Aimmah As Sittah, hal. 13-16, “… Dan Adapun Abu Dawud beserta
orang-orang yang setelahnya apabila mereka menulis, maka terbagi menjadi tiga
bagian :
a.
Ash Shohiih, yang merupakan
salah satu jenis yang terdapat dalam kitab Ash Shohiihain.
b.
Shohiih sesuai syarat
mereka (syarat Ashhaab As Sunan). Sebagaimana yang telah dikisahkan oleh
Abu ‘Abdulloh bin Mandah, “Bahwasannya syarat Abu Dawud dan An Nasa’i yaitu
dengan mengeluarkan hadits-hadits dari suatu kaum yang belum disepakati
kematrukan mereka apabila hadits tersebut shohih dikarenakan tersambungnya (ittishool) isnad, dengan
tanpa adanya keterputusan ataupun keirsalan sanad..
c.
Hadits-hadits yang mereka
keluarkan sebagai sebuah kontroversi di dalam bab yang terdahulu yang mereka
riwayatkan tanpa adanya ketentuan yang pasti dari mereka atas keshohihannya.
Dan bisa jadi periwayatnya menjelaskan akan kecacatannya sesuai dengan
pemahaman orang-orang yang mengetahuinya. Dan jika ada yang mengatakan mengapa
mereka tidak menulisnya dalam kitab
mereka dan mereka belum menentukan keshohihannya…? Maka jawabnya ada
tiga sisi :
1)
Riwayat suatu kaum atas hadits
tersebut beserta pemakaian mereka atas hadits tersebut sebagai hujjah
dan mereka menjelaskan kekurangannya untuk menghilangkan syubhat.
2)
Bahwasannya mereka tidak
mensyaratkan sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Bukhori dan Muslim di luar
kitab mereka berdua dengan menamainya dengan nama kitab Shohiih.
3)
Hendaklah dikatakan kepada yang
mengatakan perkataan ini, kami telah menyaksikan para ahli fiqih dan semua para
ulama bahwasannya mereka meriwayatkan dalil-dalil yang saling bertentangan
dalam kitab-kitab mereka yang sebenarnya mereka juga mengetahui bahwasannya hal
tersebut bukan merupakan sebuah dalil. Maka perbuatan mereka ini sebagaimana
yang diperbuat oleh para ahli fiqih.[26]
4.
Pandangan para ulama
tentang apa yang didiamkan oleh Abu Dawud
Ibnu Sholah mengatakan dalam kitabnya ‘Uluum Al Hadiits,
hal. 33, “Apa yang kami dapatkan dalam kitabnya Abu Dawud yang disebutkan
secara mutlaq dan bukan merupakan satu jenis pun dari apa yang terdapat dalam
kitab Shohiihain, dan yang tidak ada nash yang menentukan akan keshohihannya
dari seorang pun yang dapat membedakan antara yang shohih dan yang hasan,
kami telah mengetahuinya bahwasannya hadits tersebut adalah hasan
menurut Abu Dawud, akan tetapi bisa jadi menurut yang lain hadits tersebut
bukan hadits Hasan.”[27]
Imam Al ‘Iroqi berpendapat dalam kitabnya At Taqyiid wa Al
Iidlooh, hal. 40, “Bahwasannya perkataan beliau memang benar, bisa jadi
hadits tersebut merupakan hadits Shohih maupun hadits hasan
menurut pandangan orang yang berpendapat bahwasannya hadits Hasan merupakan
urutan tengah antara Shohih dan Dlo’if. Dan kami belum mendapati
dari Abu Dawud apakah beliau mengatakan hal tersebut, ataupun beliau memandang
apa yang bukan merupakan hadits Dlo’if sebagai hadits Shohih yang
lebih diutamakan. Dan yang benar adalah hendaklah tidak dinaikkan derajatnya
menjadi derajat shohih atas hadits yang didiamkan oleh beliau sehingga
diketahui bahwasannya pendapatnya adalah yang kedua dan perlu diteliti lagi.”[28]
Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya An Nakt
Juz. 1, hal. 435, “Dan telah jelas dari sini bahwasannya seluruh apa yang
didiamkan oleh Abu Dawud tidak menjadi termasuk hasan secara istilah, akan
tetapi ia dibagi menjadi beberapa bagian :
a.
Sebagian ada yang terdapat dalam
kitab Shohiihain ataupun atas syarat keduanya.
b.
Sebagian ada yang merupakan
termasuk hasan lidzaatihi.
c.
Sebagian ada yang merupakan hasan
yang saling bertentangan. Dan bagian ini merupakan bagian terbanyak yang
terdapat dalam kitabnya.
d.
Dan sebagian lagi yang merupakan dlo’if,
akan tetapi hadits tersebut merupakan riwayat dari orang yang belum disepakati
kematrukannya secara umum. Dan setiap bagian ini menurutnya, boleh dijadikan
sebagai hujjah.”
Al Hafidz Muhyiddin An Nawawi mengatakan, “…dan yang benar
adalah apa yang kami dapatkan dalam kitab Sunannya atas apa yang tidak
beliau jelaskan dan apa yang belum ditentukan hukum keshohihan maupun kehasanannya
oleh seseorang yang berwenang, maka hadits tersebut hasan. Dan walaupun telah
ditentukan atas kedlo’ifannya oleh yang berwenang ataupun ada pendapat
dari seorang yang mengetahui tentang sanadnya yang mengindikasikan kedlo’ifannya
dan tidak ada yang memaksa atas kedlo’ifannya dan apa yang belum beralih
kepada diamnya Abu Dawud.”
Ibnu Hajar juga mengatakan, sebagai dukungan atas perkataan
ini, “…dan inilah yang jelas.”[29]
5.
Perhatian para ulama
terhadap kitab Sunan Abi Dawud[30]
Para ulama sangat perhatian dengan kitab ini sebagaimana
perhatian mereka terhadap Al Kutub As Sittah yang lainnya dan yang
lainnya, akan tetapi kami mendapati bahwasannya perhatian mereka dengan kitab
ini berbeda dengan kitab-kitab Sunan yang lainnya. Di antara mereka ada
yang menjadikan perhatiannya setelah derajat kitab Shohiihain dengan
perhatian yang khusus menurut ahli fiqih dikarenakan kitab ini mengandung sunan
dan hadits-hadits yang shohih dan hasan. Maka mereka mensyarhnya,
meringkasnya dan bergantung dengannya, sebagaimana mereka juga mengungkapkan
biografi para rijalnya termasuk sebagai rijalnya dari Al Kutub As Sittah.
Di antara kitab-kitab syarhnya yang penting adalah :
1.
Syarh Ma’aalim As Sunan,
karya Abu Sulaiman Hamad bin Muhammad bin Ibrohim Al Khotthobi yang wafat pada
tahun 388 Hijriyah.
2.
Marqooh As Su’uud Ila Sunan Abi
Daawud, karya Al Hafidz As Suyuthi yang wafat pada tahun 911 Hijriyah.
3.
Fath Al Waduud ‘Ala Sunan Abi
Daawud, karya Abu Al Hasan Muhammad bin Abdilhadi As Sindi yang wafat pada
tahun 1139 Hijriyah.
4.
‘Aun Al Ma’buud Syarh Sunan Abi
Daawud, karya Syaikh Syamsulhaq Al ‘Adhim Abadi yang wafat pada tahun 1329
Hijriyah.
5.
Badzl Al Majhuud Fii Hilli Abi
Daawud, karya Syaikh Kholil Ahmad As Sarnughuri yang wafat pada tahun 1346
Hijriyah.
6.
Qothbuddin Abu Bakr Al Yamany Asy
Syafi’i yang wafat pada tahun 652
Hijriyah dalam 4 jilid yang besar.
7.
Syihabuddin Ar Romly yang wafat
pada tahun 848 hijriyah. Dan yang lainnya.
Ada juga di antara para ulama yang meringkasnya, yaitu Al
Hafidz ‘Abdul Hadi Al Mundziri, pengarang kitab At Targhiib wa At Tarhiib
yang wafat pada tahun 656 Hijriyah. Yang kemudian ringkasan beliau ini di
tertibkan oleh Ibnu Al Qoyyim Al Jauziyyah yang wafat pada tahun 751 Hijriyah.
Beliau menyebutkan di dalamnya bahwasannya Al Hafidz Al Mundziri telah baik
dalam meringkas, maka aku telah menertibkannya sebagaimana yang asli dan aku
menambahinya dengan komentar atas kecacatannya yang tidak disinggung yang belum
beliau lengkapi, mentashihkan hadits-haditsnya dan komentar terhadap matan-matannya yang bermasalah, yang belum diungkapkan
tentang kemu’dholannya sehingga aku telah menguraikan komentar tersebut
di berbagai judul ataupun tempatnya supaya nantinya para pengamat tidak akan
mendapati hal tersebut kecuali pada kitab ini.[31]
G.
Maroji’
- Tadwiin As Sunnah An Nabawiyyah, Nasyatuhu wa Tathowwuruhu Min Al Qorn Al Awwal Ila Nihaayah Al Qorn At Taasi’ Al Hijri, karya Doktor Muhammad bin Mator Az Zahroni, Penerbit Maktabah Ash Siddiq, cetakan I, tahun 1412 Hijriyah.
- Tadriib Ar Roowi Fii Syarh Taqriib An Nawaawi, karya Imam As Suyuthi, yang telah ditshqiq oleh ‘Abdul Wahhab ‘Abdul Lathif, Juz 2, cetakan I, Penerbit Ar Riyadh Al Haditsah, Eden.
- Sunan Abi Daawud, karya Al Hafidz Abi Dawud Sulaiman bin al Asy’ats As Sijistani Al Azdi, Cetakan I, Penerbit Daar Ibn Hazm, Beirut, Libanon tahun 1419 Hijriyah/1998 M.
- Al Hadiits wa Al Muhadditsun Au ‘Inaayah Al Ummah Al Islaamiyyah Bi As Sunnah An Nabawiyyah, karya Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Penerbit Al Maktabah At Taufiqiyyah.
- Siyaar Al A’laam An Nubalaa’, karya Imam Adz Dzahabi, juz 10, cetakan I, Penerbit Daar Al Fikr, Beirut, Libanon, tahun 1417 H/1997 M.
- Al Bidaayah wa An Nihaayah, karya Ibnu Katsir, juz 11, cetakan I, Penerbit Maktabah Ash Shofa, Kairo, Mesir, tahun 1423 H/2003 M.
- Tahdziib At Tahdziib, karya Ibnu Hajar Al Asqolani, juz 2, cetakan I, Penerbit Muassasah Ar Risalah, Beirut, Libanon, tahun 1421 H/2001 M.
[1] Ini
menurut apa yang dikatakan oleh Abu Bakr Al Khothib Al Baghdadi dalam kitab Taariikhnya,
Juz 9, hal 55. Demikian juga dengan Ibnu Dasah dan Abu ‘Ubaid Al Ajurri, akan
tetapi tanpa tambahan Ibnu ‘Amru bin ‘Imron’. Imam Adz Dzahabi dalam kitab Siyaarnya
menyebutkan nama beliau adalah Sulaiman bin Al Asy’ats bin Syaddad bin ‘Amru
bin ‘Amir. Demikian juga Abdurrohman bin Abi Hatim dan Ibnu Hajar Al Asqolani
dalam kitab Tahdziib At Tahdziib, juz 2, hal. 83. Muhammad bin ‘Abdul
‘Aziz Al Hasyimi mengatakan, Sulaiman bin Al Asy’ats bin Bisyr bin Syaddad. Lihat
kitab Siyaar Al A’laam An Nubalaa’, karya Imam Adz Dzahabi, Juz 10,
nomor biografi 2335, hal. 567.
[2] Adapun
Sijistan, yaitu daerah Abu Dawud berasal, adalah merupakan sebuah daerah kecil
yang terpencil, termasuk daripada wilayah As Sind, di sebelah baratnya adalah
negeri Haroh, sebelah selatannya adalah gurun pasir, yang terletak antara
daerah tersebut dengan wilayah Persia dan Kirman, sebelah timurnya adalah
padang pasir dan dataran yang berada antara daerah tersebut dengan Mukron
(Mukron/Mukkaron merupakan suatu negara bagian daripada negara Kirman,
sebagaimana yang tercantum pada kitab Mu’jam Al Buldan karangan Yaquth)
yang berada di bawah kekuasaan negeri As Sind, dan yang terakhir di sebelah
timurnya berbatasan dengan negeri Multan dan sebelah utaranya adalah awal perbatasan
India. Sijistan merupakan negeri yang banyak pohon kurma dan berpadang pasir.
Ia merupakan daerah yang ketiga di antara tujuh daerah lainnya. Ibu kota negaranya adalah
Zarong. Luasnya 32 derajat. Kota Zarong merupakan kota
yang menyendiri di Sijistan, yang mempunyai pagar ataupun tembok yang
mengelilingi kota,
masjid raya, sungai besar. Dan panjangnya dari kepulauan Kholidah 89 derajat. Ada yang menisbatkan
dengan As Sijzi, dan adapun Sijz, adalah Sijistan.
[3] Lihat
biografi lengkapnya pada kitab Siyaar Al A’laam An Nubalaa’, karya Imam
Adz Dzahabi, Juz 10, hal. 580, biografi no. 2336.
[4] Dimana beliau pernah meriwayatkan hadits dari Abu
Dawud, dan meminta komentar dari beliau, maka beliau bangga dengan Abu Dawud.
Hadits yang Imam Ahmad bin Hanbal riwayatkan darinya dan yang beliau dengar
darinya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud atas hadits dari Hamad bin
Maslamah dari Abi Mi’syar Ad Darimi dari ayahnya bahwasannya Rosululloh ditanya
tentang Al ‘Athiroh (domba yang disembelih pada bulan Rojab) dan beliau
pun membolehkannya.
[5] Mereka
berdua termasuk yang meriwayatkan hadits dari Abu Dawud dalam kitab Sunannya.
[6] Al
Bidaayah wa An Nihaayah, karya Ibnu Katsir, Juz 11, hal. 46.
[7] Tahdziib
At Tahdziib, karya Ibnu Hajar Al Asqolani Juz 2, hal. 84. Sedangkan
rinciannya seperti yang ditulis oleh Imam Adz Dzahabi dalam Siyaarnya,
Al A’masy meriwayatkan dari Ibrohim bin ‘Alqomah, ia berkata, “’Abdulloh bin
Mas’ud menyerupai Nabi Shollalllohu ‘Alaihi wa Sallam dalam memberi petunjuk
dan pengajarannya. Dan ‘Alqomah menyerupai ‘Abdulloh dalam perihal yang sama.”
Jarir bin ‘Abdul Hamid berkata, “Ibrohim An Nakho’i menyerupai Alqomah dala hal
yang sama, dan Manshur serupa Ibrohim.” Dan ada yang mengatakan, “Sufyan Ats
Tsauri serupa dengan Manshur, Waki’ menyerupai Sufyan, Ahmad serupa dengan
Waki’, dan Abu Dawud menyerupai Ahmad.” Lihat Siyaar Al A’laam An Nubalaa’,
karya Imam Adz Dzahabi, Juz 10, hal. 575-576.
[8] Dua Iraq (‘Irooqoin) merupakan istilah untuk dua kota yaitu Bashroh dan
Kufah.
[9] Baghlan
: sebuah negeri searah dengan Balkh.
Lihat Mu’jam Al Buldaan, karya Yaquth.
[10] Lihat Siyaar
Al A’laam An Nubalaa’, karya Imam Adz Dzahabi, Juz 10, hal. 574.
[11] Ibid.
[12] Ibid,
hal. 576.
[13] Lihat Tadriib
Ar Roowi Fii Syarh Taqriib An Nawaawi, karya Imam As Suyuthi, Juz 2, hal.
363.
[14] Hal ini
sebagaimana Al Khothib Abu Bakr Al Baghdadi mencantumkan dalam kitab Taariikhnya
9/56, dikatakan bahwa,
((إنه صنف كتابه (السنن)
قديما، و عرضه على أحمد بن حنبل، فاستجاده، و استحسنه))
“Sesungguhnya
beliau (Abu Dawud) telah lama mengarang kitabnya (yaitu kitab As Sunan),
kemudian beliau koreksikan kepada Ahmad bin Hanbal, dan Imam Ahmad pun bangga
dan memujinya.” Lihat Siyaar Al A’laam An Nubalaa’, karya Imam Adz
Dzahabi, Juz 10, hal. 572.
[15] Al
Hadiits wa Al Muhadditsun Au ‘Inaayah Al Ummah Al Islaamiyyah Bi As Sunnah An
Nabawiyyah, karya Muhammad Muhammad Abu Zahwu, hal. 359-360.
[16] Abu
Dawud berkata dalam kitab Ar Risaalah Al Mustathrofah : 32, “Istilah
penyebutan kitab-kitab sunan dikarenakan kitab-kitab tersebut disusun
berdasarkan bab-bab fiqih, seperti ; Bab Iman, Thoharoh, Sholat dsb.. dan di
dalamnya tidak ada hadits Mauquf, karena hadits mauquf tidak bisa diistilahkan
dengan sunah, tapi bisa disebut sebagai hadits…”
[17] Di
antara haditsnya ‘Umar bin Al Khotthob ; yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al
Musnad Juz 1, hadits ke-168 dan 300; Bukhori dalam Bada’ Al Wahyi
bab 1, Al Iimaan bab 41, Al Ikrooh fii At Tarjamah, An Nikaah
bab 5, Ath Tholaaq bab 11, Manaakib Al Anshoor bab 45, Al ‘Itq
bab 6, Al Hail bab 1; Muslim dalam Al Imaaroh hadits ke-155; Abu
Dawud dalam Ath Tholab bab 11; At Tirmidzi dalam Fadloo’il Al Jihaad
bab 16; An Nasa’i dalam Ath Thohaaroh bab 59, Ath Tholaaq bab 24,
Al Aimaan bab 19; Ibnu Majah dalam Az Zuhd bab 26.
[18]
Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al Musnad Juz 1, hadits ke-1732; Malik
dalam Husnu Al Khuluq hadits ke-3, di antara haditsnya Al Husain bin
‘Ali; At Tirmidzi dalam Az Zuhd bab 11; Ibnu Majah dalam Al Fitan
bab 12, di antara haditsnya Abu Huroiroh.
[19] Di
antara haditsnya Anas bin Malik; yang dikeluarkan oleh Bukhori dalam Al
Iimaan bab 7; Muslim dalam Al Iimaan hadits ke-71 dan 72; At
Tirmidzi dalam Al Qiyaamah bab 59; An Nasa’i dalam Al Iimaan bab
19 dan 33.
[20] Di
antara haditsnya An Nu’man bin Basyir; yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al
Musnad hadits ke-18.375,18.396, 18.402, 18.412 dan 18.446; Bukhori dalam Al
Iimaan bab 39 dan Al Buyuu’ bab 2; Muslim dalam Al Masaaqqoh
hadits ke-107 dan 108; Abu Dawud dalam Al Buyuu’ bab 3; At Tirmidzi
dalam Al Buyuu’ bab 1; An Nasa’i dalam Al Buyuu’ bab 2 dan Al
Qudlooh bab 11; Ibnu Majah dalam Al Fitan bab 14; Ad Darimi dalam Al
Buyuu’ bab 1.
[21] Taariikh
Baghdaad, karya Al Imam Al Baghdadi 5/57, lihat Siyaar Al A’laam An
Nubalaa’, karya Imam Adz Dzahabi, Juz 10, hal. 572.
[22] Al
Hadiits wa Al Muhadditsun Au ‘Inaayah Al Ummah Al Islaamiyyah Bi As Sunnah An
Nabawiyyah, karya Muhammad Muhammad Abu Zahwu, hal. 411-412.
[23] Semoga
yang dimaksudkan adalah yang disepakati atas kematrukannya. Adapun jika
tidak, bisa jadi didapati sebagian para matrukun dari siapa yang belum
disepakati atas kematrukannya.
[24] Imam As
Suyuthi mengatakan dalam Tadriibnya, “Maka atas apa yang dinukil dari
Abu Dawud mengandung dengan pengertian yang beliau inginkan maksudnya dengan
perkataan beliau (Shooliih), yaitu yang bisa dijadikan I’tibar
tanpa berhujjah, maka hal tersebut termasuk hadits Dlo’if. Akan
tetapi Ibnu Katsir meriwayatkan dari beliau bahwasannya ‘Apa yang didiamkan
oleh Abu Dawud merupakan hadits Hasan’ maka apabila hal tersebut memang
benar, maka tidak dipermasalahkan.” Lihat ibid, hal. 314.
[25] Lihat
suratnya Imam Abi Dawud kepada penduduk Makkah yang merupakan surat yang pendek yang diterbitkan atas
tahqiq dari Doktor Muhammad Luthfi Ash Shibagh. Ataupun lihat lebih lengkapnya
di kitab Tadwiin As Sunnah An Nabawiyyah, Nasyatuhu wa Tathowwuruhu Min Al
Qorn Al Awwal Ila Nihaayah Al Qorn At Taasi’ Al Hijri, karya Doktor
Muhammad bin Mator Az Zahroni Maktabah Ash Siddiq, hal. 131-132.
[26] Ibid,
hal. 132-133.
[27] Ibid,
hal. 133.
[28] Ibid,
hal. 134.
[29] Pada
buku yang sama, hal. 444. Ibid, hal. 134-135.
[30] Untuk
penjelasan yang lebih rincinya, silahkan merujuk kepada kitab yang ditulis oleh
Doktor Muhammad Luthfi Ash Shibagh tentang Abu Dawud dan kitab Sunannya
yang diterbitkan oleh penerbit Al Maktab Al Islami, Beirut, Libanon. Ibid, hal. 131-132.
[31] Kasyfu
Adh Dhunuun, Juz 1, hal. 478, Miftaah As Sunnah, hal. 86. Lihat Al
Hadiits wa Al Muhadditsun Au ‘Inaayah Al Ummah Al Islaamiyyah Bi As Sunnah An
Nabawiyyah, karya Muhammad Muhammad Abu Zahwu, hal. 414-415.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar