BIOGRAFI
AL-HAKIM AN-NAISABURI
I.Prolog
Melacak
jejak kehidupan para ulama salaf terdahulu, terutama ulama hadist tidak semudah
apa yang kita bayangkan, tak semudah seperti membalikkan tangan. Disana
dibutuhkan kecermatan dan keahlian khusus dalam menggali dan meniliti
kehidupannya, sehingga ketika dituangkan dalam selembar kertas dan sedikit
goresan tinta bisa memuaskan para pembaca.
Termasuk
melacak jejak kehidupan salah satu ulama hadist yang bernama Al-Hakim
An-Naisabury, kalau diteliti dan digali, ternyata kita akan terheran dan mata
terbelalak serta tercengang, karena seluruh kehidupannya hanya ia gunakan untuk
menuntut ilmu, terutama ilmu hadist. Sampai beliau hafal ribuan hadist dan
beliau himpun sampai delapan ribuan lebih, dari kesungguhannya itu beliau
menggapai cita-citanya dan beliau juga dikenal sebagai salah satu ulama yang pakar dalam hadist.
Dari
segi kepribadiannya beliau sangat bijak dan shiqqoh sehingga pengetahuannya tentang
ilmu sangat luas sekali, dikatakan juga beliau sangat zuhud dan tidak takabbur
terhadap dunia.
Dibalik
tulisan diatas penulis hanya sedikit mencantumkan kelebihan yang beliau punyai,
masih banyak sekali kelebihan beliau yang terpendam dalam buku-buku klasik
karangan ulama tedahulu. Untuk itulah kami mencoba sedikit menggali dan menulis
kehidupan beliau Al-Hakim agar kita tahu akan semangatnya dalam menuntut ilmu.
I1.Nama dan awal kelahiran
Nama imam al-hakim
adalah Abu Abdillah Al-hakim Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Na’im bin
Al-hakam Adh-dhabbi Ath-Athahmani An-Nasaiburi Al-Hafidz yang terkenal dengan
sebutan Ibnu Bayyi’. Dia lahir pada hari Senin, tanggal 3 bulan Rabiul Awal
tahun 321 HIjriyah.[1]
Dan julukannya Abu Abdillah sedangkan gelar kehormatannya adalah AL-Hakim dan
ia sering memakai dengan nama Ibnu
Bayyi.[2]
Abu Abdillah Al-hakim
menuntut ilmu di mulai semenjak masih kecil melalui berkat bimbingan dan arahan
ayah serta paman dari ibunya. Adapun pertama kali dia mendengarkan hadits tahun
330 Hijriyah ketika baru berumur tuju tahun. Dia mendapatkan hadits secara
imla’ dari Abu Hatim Ibnu Hibban pada tahun 334 Hijriyah.[3]
Setelah itu, Abu Abdillah Al-hakim melakukan perjalannya mencari ilmu dari Naisaburi ke Irak pada tahun 341 Hijriyah, selang beberapa bulan setelah Ismail As-Syaffar meninggal dunia. Kemudian dia melakukan ibadah haji dan selanjutnya meneruskan perjalannya mencari ilmu kenegeri Khurasan, daerah ma wara’an an-nahri dan lainnya. Adapun para guru Abu Abdillah Al-hakim di naisaburi sendiri jumlahnya mencapai 1000 syaikh. Sedangkan guru-guru yang diperoleh selain dari naisaburi pun kurang lebih 1000 syaikh.[4]
Setelah itu, Abu Abdillah Al-hakim melakukan perjalannya mencari ilmu dari Naisaburi ke Irak pada tahun 341 Hijriyah, selang beberapa bulan setelah Ismail As-Syaffar meninggal dunia. Kemudian dia melakukan ibadah haji dan selanjutnya meneruskan perjalannya mencari ilmu kenegeri Khurasan, daerah ma wara’an an-nahri dan lainnya. Adapun para guru Abu Abdillah Al-hakim di naisaburi sendiri jumlahnya mencapai 1000 syaikh. Sedangkan guru-guru yang diperoleh selain dari naisaburi pun kurang lebih 1000 syaikh.[4]
Sebagaimana yang
dikatakan Al-Khalil bin Abdillah di depan bahwasannya Abu Abdillah Al-hakim
pernah dua kali melakukan perjalannya mencari ilmu ke Irak dan Hijaz. Perjalanan
mencari ilmu yang kedua ini dilaksanakan pada tahun 338 Hijriyah.
Adz-Dzahabi berkata, “Abu Abdillah Al-hakim mendapakan sanad hadits yang ‘ali di Khurasan, Irak dan daerah ma wara’an an-nahri. Dia melakukan perjalanannya mencari ilmu ke Irak sewaktu berusia dua puluh tahun tidak lama setelah meninggalnya Ash-Shaffar.[5]
Adz-Dzahabi berkata, “Abu Abdillah Al-hakim mendapakan sanad hadits yang ‘ali di Khurasan, Irak dan daerah ma wara’an an-nahri. Dia melakukan perjalanannya mencari ilmu ke Irak sewaktu berusia dua puluh tahun tidak lama setelah meninggalnya Ash-Shaffar.[5]
III. Sanjungan para ulama terhadapnya
Abu Ath-Thahrir
As-Salafi berkata,” aku telah mendengar Ismail bin Abdul Jabar Al-Qadhi di
daerah Qazwain berkata,” aku telah mendengar Al-Khalil bin Abdullah Al-Hafizh
ketika menyebut nama Abu Abdillah Al-hakim dengan penuh hormat, dia berkata,” Abu
Abdillah Al-hakim telah dua kali mengunjungi Irak dan Hijaz. Kunjungan keduanya
terjadi pada tahun 338 Hijriyah, dimana dia berdiskusi dengan Imam Ad-Daruquthni
sampai ia ridha atas Abu Abdillah Al-hakim. Abu Abdillah Al-hakim adalah
seorang yang Tsiqah, mempunyai ilmu luas dan karya mencapai kurang lebih lima
ratus juz. Abu Hazim Umar bin Ahmad bin Ibrahim Al-Abdawi Al-Hafidz berkata, “
sesungguhnya Abu Abdillah Al-hakim pernah diangakat menjadi hakim didaerah
Nasa’ pada tahun 359 Hijriyah ketika daulah As-Samaniyah berkuasa dengan
perdana menterinya yang bernama Abu Ja’far Al-Atabi. [6]
Abu Abdurrahman As-silmi
berkata: Saya bertanya kepada Darauqotni: Siapakah diantara keduanya yang paling
menjaga hafalannya ? maka ia menjawab: Saya yakin yang paling menjaga hafalan
adalah Ibnul Bayyi (Al-Hakim).[7]
Pada waktu itu,
Al-Khalil bin Ahmad As-Sijzi Al-Qadhi menemui Al-Atabi dan berkata,” Allah
telah menganugrahkan kepadamu dengan syaikh (Abu Abdillah Al-hakim). Dia telah
mnyiapkan diri ke Nasa’ dengan membawa 300.000 hadits Rasulullah S.A.W.
“mendengar berita yang dibaca Al-Khalil As-Sijzi ini, wajah Al-Atabi lalu
Nampak berseri-seri karena gembira. Kemudian jabatan Abu Abdillah Al-hakim
sebagai hakim hendak dipindahkan tugaskan ke Jurjan, akan tetapi dia menolaknya.
Aku telah mendengar para syaikh kami berkata,”Abu Bakar Ibnu Ishaq dan Al-walid
An-Naisaburi sering bertandang menemui Abu Abdillah Al-hakim untuk menanyakan
tentang Jarh wa At-Ta’dil, Illat hadits dan menemukan hadits-hadits yang shahih
dari yang tidak shahih.[8]
Pada waktu itu ia tinggal bersama Abu Abdillah Al-Ashami
kurang lebih tiga tahun lamanya. Tak satu pun syaikh yang kau ketahui lebih bertaqwa
dan cepat bereaksi daripada Abu Abdillah Al-Ashami . Apabila ia menemui dalam
hadits, maka dia menyuruhku untuk menanyakan kepada Abu Abdillah Al-hakim dan
menulis jawabannya. Jika apa yang aku tulis dari Imam Al-Hakim terdapat
jawabannya, maka Abu Abdillah Al-AShami akan memberikan hukum keputusan hadits
tersebut dengan jawaban Al-Hakim. Dia telah memilih para gurunya selama 50
tahun.”
Abdul Ghafir Al-Farisi berkata,” Abu Abdillah Al-hakim
hanya berteman dengan imam pada masanya, yaitu Abu Bakar Ahmad bin Ishaq
Ash-Shibghi. Dia selalu bertanya kepada Ibnu Ishaq Ash-Shighi tentang Jarh Wa
Ta’dil dan illat hadits. Abu Bakar Ahmad Ibnu Ishaq As-Sibghi juga berwasiat
kepada Al-hakim mnengenai permasalahan madrasahnya Dar As-Sunah, sampai Abu
Bakar mempercayakn urusan madrasahnya kepada Abu Abdillah Al-hakim.[9]
Aku juga sering mendengar para guru kami menceritakan
hari-harinya dimasa lalu dengan berkata, “sesungguhnya para imam terkemuka dan
terdepan dimasanya semisal Imam Sahl Ash-Shu’luki, Imam Ibnu Furak dan beberapa
imam lainnya menghormati Abu Abdillah Al-hakim melebihi dari merka sendiri.
Mereka mengutamakan dan mendahulukan kepentingan Abu Abdillah Al-hakim karena
kelebihan dan kemampuan menghafal makrifat yang dimilikinya.”
Ketika Abu Abdillah Al-hakim menghadiri suatu pengajian,
para syaikh dan peserta yang hadir akan memuliakannya. Mereka setia
mendengarkan apa yang disampaikan Abu Abdillah Al-hakim karena hormat dan
fasihnya pembicaraanya .”
Al-Abdawi berkata, “ aku telah mendengar Abu Abdurrahman As-Sulami berkata, “pada waktu itu aku akan menulis hadits di juz kitab bagian luar dari hadits Imam Abi Al-Husain Al-Hajjaji Al-Hafizh; ketika aku mengambil pena untuk menulisnya, tiba-tiba Al-Hafizh membantingku dan berkata, “apa-apaan ini! Aku (Al-Hafizh) telah menghafalnya dan Abu Abdillah Al-hakim lebih hafizh dariku. Sedangkan aku tidak menjumpai seorangpun yang hafizh selain Abu Ali An-Naisaburi dan Abu Abbas Ibnu Uqdah.”kemudian aku (As-Sulami) bertanya kepada Ad-Daruquthni,” siapakah yang lebih hafizh di antara Ibnu Mandah dan Abu Abdillah Al-hakim? Ad-Daruquthni menjawab,” Abu Abdillah Al-hakim lebih mutqin (mantap) hafalannya”. Ad-Dzahabi,” Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang imam yang hafizh, kritukus perawi hadits yang dalam ilmunya serta syaihknya para ulama ahli hadits.”[10]
Al-Abdawi berkata, “ aku telah mendengar Abu Abdurrahman As-Sulami berkata, “pada waktu itu aku akan menulis hadits di juz kitab bagian luar dari hadits Imam Abi Al-Husain Al-Hajjaji Al-Hafizh; ketika aku mengambil pena untuk menulisnya, tiba-tiba Al-Hafizh membantingku dan berkata, “apa-apaan ini! Aku (Al-Hafizh) telah menghafalnya dan Abu Abdillah Al-hakim lebih hafizh dariku. Sedangkan aku tidak menjumpai seorangpun yang hafizh selain Abu Ali An-Naisaburi dan Abu Abbas Ibnu Uqdah.”kemudian aku (As-Sulami) bertanya kepada Ad-Daruquthni,” siapakah yang lebih hafizh di antara Ibnu Mandah dan Abu Abdillah Al-hakim? Ad-Daruquthni menjawab,” Abu Abdillah Al-hakim lebih mutqin (mantap) hafalannya”. Ad-Dzahabi,” Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang imam yang hafizh, kritukus perawi hadits yang dalam ilmunya serta syaihknya para ulama ahli hadits.”[10]
Adz-Dzahabi berkata lebih lanjut, “barang siap mernungkan
karya-karya Imam Abu Abdillah Al-hakim, pembahsannya ketika meberikan imla’ dan
analisa pandanganya menganai jalur-jalur periwayatan hadits, maka ia kan
mengakui kecerdasan dan kelebihan yang dimiliki Imam Abu Abdillah
Al-hakim.Sesungguhnya Imam Al-Hakim mengikuti jejak para pendahulunya dimana
para ulama setelahnya akan kerepotan mengikuti jerih payah sebagaimana yang di
lakukan Abu Abdillah Al-hakim. Dia hidup dengan terpuji dan tidak ada seorang
pun setelahnya menyamainya.”[11]
Tajudin As-Subki mengatakan bahwasannya Abu Abdillah
Al-hakim adalah seorang imam yang mulia, hafizh yang banyak hafalannya dimana
ulama telah mengakui kemampuannya yang telah dia miliki. Banyak ahli hadits
berdatangan untuk menemuinya dari berbagai Negara karena keluasan ilmunya dan
banyaknya hadits yang diriwayatkannya.[12]
Para ulama sepakat bahwasanya Abu Abdillah Al-hakim termasuk ulama yang paling
pandai yang telah Allah utus guna memelihara agama-Nya ini.
Abu Hazim berkata,
“orang pertama kali yang popular mengusai dan menghafal hadits berikut
I’llat-I’llatnya di naisaburi setelah Imam Muslim bin Al-Hajjaj Adalah Ibrahim
bin Abi Thalib yang semasa denagn imam An-Nasa’I dan Ja’far Al-Faryabi.
Periode berikutnya
adalah Abu Hamid Asy-Syarqi yang semasa dengan Abu Bakar bin Ziyad An-Naisaburi
dan Abu Al-Abbas bin Said. Kemudian Abu Ali Hafizh yang semasa dengan Abu Ahmad
Al-Assal dan Ibrahim bin Hamzah. Setelah itu adalh Asy-Syaikhani, Abu Al-Husain
Al-Hajjaj dan Abu Ahmad Al-hakim yang semasa dengan Ibnu Adi, Ibnu
Al-Mudzhaffar dan Ad-Daruqthuni. Dari Abdul Ghofir berkata: Al-Hakim Abu Abdillah dia ad;ah seorang imam ahli
hadist pada masanya, dan dia sangat arif dan luas pengetahuannya.[13]
Sedangkan, Abu
Abdillah Al-hakim dimasanya adlah seorang diri yang tidak ada ulama lain selain
dirinya, baik di Hijaz, Irak, Jabal, Rai Thabaristan, Qaus, Khurasan, dan
daerah mawara’an an-nahri.” Inilah sebagian penuturan Abu Hazim yang
disampaikan dalam biografi Imam Abu Abdillah Al-hakim. Di akhir kisahnya , Abu
Hazim berkata,”semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang pandai
bersyukur atas nikmatnya ini.
IV. Jawaban atas tuduhan yang menuduhnya mengikuti syiah[14]
Imam At-Taj As-Subki
berkata secara ringkasnya adalah sebagai berikut, “Abu Abdillah Al-hakim tealah
di tuduh mengikuti aliran syiah. tuduhan itu berdasarkan pada suatu pendapat
bahwa Abu Abdillah Al-hakim tealah mendahulukan kedudukan Ali bin abi Thalib
biarpun dia tidak mencela salah satu sahabat.
Setelah kami koreksi peryataan tersebut, teryata kami jumpai bahwa Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang ulama ahli hadits yang para ulama tidak mengalami perbedaan pendapat tentangnya. Sesungguhnya jarang sekali kita jumapai ulama ahli hadits yang mengikuti aliran syiah.kalau pun ada, maka itu hanya segelintir orang saja pada suatu komunitas. Dan, dari segekintir orang yang mengikuti aqidah syi’ah ini, ketika kami pelajari gurunya yang memiliki hubungan lebih khusus kepada mereka, teryata guru tersebut adalah ulama ahli hadits terkemuka yang mengikuti Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Setelah kami koreksi peryataan tersebut, teryata kami jumpai bahwa Abu Abdillah Al-hakim adalah seorang ulama ahli hadits yang para ulama tidak mengalami perbedaan pendapat tentangnya. Sesungguhnya jarang sekali kita jumapai ulama ahli hadits yang mengikuti aliran syiah.kalau pun ada, maka itu hanya segelintir orang saja pada suatu komunitas. Dan, dari segekintir orang yang mengikuti aqidah syi’ah ini, ketika kami pelajari gurunya yang memiliki hubungan lebih khusus kepada mereka, teryata guru tersebut adalah ulama ahli hadits terkemuka yang mengikuti Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Disamping itu, mereka
para guru juga berpegang teguh pada aqidah Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari semisal
syaikh Abu Bakar Ibnu Ishaq As-Shibghi, Abu Bakar bin Furak, Abu Sahal Ash-Shu’uluki
dan yanga lainya. Orang-orang seperti mereka inilah yang selalu mereka geluti
pengajiannya dan yang menyampaikan kepada mereka dasar-dasar agama dan
sejenisnya. Dan, ketika kami melihat dengan seksama kitab sejarah karya Imam
Abu Abdillah Al-hakim dalam menyebutkan biografi para ulama Ahlul Sunnahwal
Jamaah, maka kami menamukan bahwasannya Abu Abdillah Al-hakim menyebutkan
bigrafi mereka sesuai hak-hak dan kemulian mereka.
Sebagai misal, perhatikanlah biografi Abu Sahal Ash-Shu’luki, Abu Bakar Ibnu Ishaq dan selainya dalam kitab sejarah karaya Al-Hakim. Disitu Abu Abdillah Al-hakim tidak menyinggung sedikitpun tengtang perbedaan akidah mereka.
Ketika saya mengoreksiya dengan metode istiqra’, tidak tamapak sedikit pun pembahasan sejarahwan yang bersifat celaan ataupun ejekan dalam akidah dan kitab sejarah Al-Hakim. Padahal, sudah menjadi kebiasaan mereka (para ahli sejarah) adalah mngutip dari pendapat ulama yang lain, dan la haula wa quwwat illa billah.
Dan, ketiaka saya melihat biografi Abu Abdillah Al-hakim yang disebutkan Abu Al-Qasim Ibnu Asakir Al-Hafizh Ats-Tsabit, maka Ibnu Akasir menyebutkanya dalam sekelompok ulama Asy’ariyah, Abu Abdillah Al-hakim adalah ulama yang termasuk diklaim berlaku bid’ah karena berlaku tasyayyu’. Namun, para ulama kahirnya menyerhakan semua klaim sekelompok orang terhadap Abu Abdillah Al-hakim tersebut kepada Allah SWT.
Sebagai misal, perhatikanlah biografi Abu Sahal Ash-Shu’luki, Abu Bakar Ibnu Ishaq dan selainya dalam kitab sejarah karaya Al-Hakim. Disitu Abu Abdillah Al-hakim tidak menyinggung sedikitpun tengtang perbedaan akidah mereka.
Ketika saya mengoreksiya dengan metode istiqra’, tidak tamapak sedikit pun pembahasan sejarahwan yang bersifat celaan ataupun ejekan dalam akidah dan kitab sejarah Al-Hakim. Padahal, sudah menjadi kebiasaan mereka (para ahli sejarah) adalah mngutip dari pendapat ulama yang lain, dan la haula wa quwwat illa billah.
Dan, ketiaka saya melihat biografi Abu Abdillah Al-hakim yang disebutkan Abu Al-Qasim Ibnu Asakir Al-Hafizh Ats-Tsabit, maka Ibnu Akasir menyebutkanya dalam sekelompok ulama Asy’ariyah, Abu Abdillah Al-hakim adalah ulama yang termasuk diklaim berlaku bid’ah karena berlaku tasyayyu’. Namun, para ulama kahirnya menyerhakan semua klaim sekelompok orang terhadap Abu Abdillah Al-hakim tersebut kepada Allah SWT.
V. Guru dan Murid-muridnya
Guru-guru Abu Abdillah
Al-hakim sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi adalah: Ayahnya sendiri, Muhammad
bin ali bin Umar Al-Mudzakkar, abu Al-Abbas al-asham, Abu Ja’far Muhammad bin
Shaleh bin Hani’, Muhammad bin Abdullah Ash-Shafar, Abu Abdillah Ibnu akhram,
Abu Al-Abba Ibnu Mahbub, Abu Hamid Hasnawiyah, Al-Hasan bin Ya’kub Al-Bukhari.[15]
Juga, Abu An-Nadhar
bin Muhammad bin Muhammad bin Yusuf, Abu Al-Walid Hasan bin Muhammad, Abu Amr
Ibnu As-Samak, Abu Bakar An-Najar, Abu Muhammad Ibnu Darastawiayah, Abu Sahal
bin Ziyad, Abdurrahman bin Hamdan Al-Jallab, Ali bin Muhammad bin Uqbah
Asy-Syaibani dan abu ali Al-Hafizh. Abu Abdillah Al-hakim senantisa mau belajar
dari orang lain meskipun itu dari sahabatnya sendiri.[16]
Sedangkan para murid Abu Abdillah Al-hakim adalah: Ad-Daruqthni, Abu Al-Fath bin Abu Fawaris, Abul Ala’ Al-Wasithi, Muhammad bin ahmad bin Ya’qub, Abu Dzar Al-Harawi, Abu Ya’la Al-Khalili, Abu Bakar Al-Baihaqi, Abu Al-Qasim Al-Qusairi, Abu Shaleh Al-Muadzin, Az-Zaki Abdul Hamid Al-buhari, Utsman Bin Muhammad Al-Mahmahi, Abu Bakar Ahmad bin Ali Bin Khalaf Asy-Syairazi dan masih banyak yang lainnya.[17]
Sedangkan para murid Abu Abdillah Al-hakim adalah: Ad-Daruqthni, Abu Al-Fath bin Abu Fawaris, Abul Ala’ Al-Wasithi, Muhammad bin ahmad bin Ya’qub, Abu Dzar Al-Harawi, Abu Ya’la Al-Khalili, Abu Bakar Al-Baihaqi, Abu Al-Qasim Al-Qusairi, Abu Shaleh Al-Muadzin, Az-Zaki Abdul Hamid Al-buhari, Utsman Bin Muhammad Al-Mahmahi, Abu Bakar Ahmad bin Ali Bin Khalaf Asy-Syairazi dan masih banyak yang lainnya.[17]
Abu Abdillah Al-hakim
belajar ilmu qira’at dari Ibnul Imam, Muhammad bin Abu Manshur Ash-Sharam, Abu
Abu Ali bin An-Naqqar Al-Kuffi dan Abu Isa Bakkar Al-Baghdadi. Dan, dia belajar
tengtang madzhab dari Ibnu Abi Hurairah, Abu SahalAsh-Shu’luki dan Abu Al-Walid
Hisan Bin Muhammad. Al-Hakim sering berdiskusi dengan Al-Ja’labi, Ad-Daruquthni
dan yang lain.[18]
Sesuatu yang membuatku
paling kagum adalah setelah meliahat abahwa Abu Umar Adh-Dhalmanki telah
menulis karya disiplin Ilmu Hadits dari Imam Abu Abdillah Al-hakim. Peristiwa
tersebut terjadi pada tahun 339 Hijruyah dimana Abu Umar Adh-Dhalmanki menulis
karya Ilmu Hadits tersebut dari seorang syaikh dari Abu Abdillah Al-hakim.[19]
VI. Karya-karyanya.[20]
VI. Karya-karyanya.[20]
Abu Hazim Umar bin
Ahmad Al-Abduwi Al-Hafizh berkata, “aku telah mendengar Abu Abdillah Al-hakim,
seorang imam ahli hadits pada masanya, berkata, “aku telah minum air zamzam
dengan memohon kepada Allah agar aku diberi anugrah karya yang bagus”.[21]
Abu Thahir berkata, “akau tleah bertanya kepada Sa’ad bin Ali Al-Hafizh tengtang empat ulama yang hidupnya satu masa. Pertayaanku adalah, “dari keempatnya, siapakah yang paling hafizh?” lalu, Sa’ad bin Ali bertanya tentang sipakah empat ulama yang kaumaksudkan.
Setelah aku jelaskan
bahwa mereka adalah Ad-Daruquthni, Abdul Ghani, Ibnu Mandah dan Al-Hakim,
akhirnya Sa’ad bin Ali menjawab seputar mereka dengan, “Ad-Daruquthni adalah
orang yang paling tahu tentang illat-illat hadits, Abdul Ghani Adalah orang
yang paling mengerti tentang sejarah manusia, Ibnu Mandah adalah orang yang
paling banyak memiliki hadits berikut makrifat yang sempurna, dan Al-Hakim
adalah orang yang paling bagus dalam berkarya diantara mereka berempat.”
Adz-Dzahabi berkata, “Al-Hakim telah memulai menuangkan ilmunya dalam bentuk karya kitab pada tahun 337 Hijriyah. Jumlah karya Abu Abdillah Al-Hakim mencapai sekitar 1000(seribu) juz yang terdiri dari tahkrij Ash-Shahihain, Al-Illal, At-Tarajum, Al-Abwab dan Aku-Syuyukh.
Adz-Dzahabi berkata, “Al-Hakim telah memulai menuangkan ilmunya dalam bentuk karya kitab pada tahun 337 Hijriyah. Jumlah karya Abu Abdillah Al-Hakim mencapai sekitar 1000(seribu) juz yang terdiri dari tahkrij Ash-Shahihain, Al-Illal, At-Tarajum, Al-Abwab dan Aku-Syuyukh.
Disamping itu, Abu
Abdillah Al-Hakim juga menulis kitab Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits, Mustadrak Al-Hakim,
Tarikh An-Naisaburiyin, Muzaka Al-Akhbar, Al-Madkhal ila Al-‘Ilmi Ash-Shahih,
Al-Iklil, Fadha’il Asy-Syafi’I dan selainya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa karya Abu Abdillah Al-Hakim yang paling terkenal adalah kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain. Kitab ini telah dicetak menjadi empat jilid berikut catatan pinggir ringkasan Imam Adz-Dzahabi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa karya Abu Abdillah Al-Hakim yang paling terkenal adalah kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain. Kitab ini telah dicetak menjadi empat jilid berikut catatan pinggir ringkasan Imam Adz-Dzahabi.
Imam Adz-Dzahabi
berkata, “ aku telah mendengar Al-Muzhaffar bin Hamzah, ketika di Jurjan, ia
berkata, “aku telah mendengar Abu Sa’ad Al-Malini berkata, “aku telah melihat
kitab Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain karya Imam Abu Abdillah Al-Hakim. Setelah
aku periksa dari hadits pertama sampai terakhir, maka aku tidak menjumpai
hadits yang sesuai dengan kriteria Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.”
Atas ungkapan Abu Sa’ad Al-Malini ini, Adz-Dzahabi berkata, “ini adalah penilaian berlebih-lebihan yang bernada sombong dari Abu Sa’ad. Sesungguh didalam Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain banyak dijumpai hadits yang sesuai dengan kriteria Imam Al-Bukahri dan Imam Muslim, sesuai dari kriteria salah satu dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim yang mencapi sepertiga atau lebih sedikit lagi dari semua isi kitab.
Atas ungkapan Abu Sa’ad Al-Malini ini, Adz-Dzahabi berkata, “ini adalah penilaian berlebih-lebihan yang bernada sombong dari Abu Sa’ad. Sesungguh didalam Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain banyak dijumpai hadits yang sesuai dengan kriteria Imam Al-Bukahri dan Imam Muslim, sesuai dari kriteria salah satu dari Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim yang mencapi sepertiga atau lebih sedikit lagi dari semua isi kitab.
Sebabnya adalah karena
banyak dijumpai hadits yang secara lahir Nampak seperti kriteria Syaikhaini
atau salah satunya, namun ketika dikoreksi ternyata menyimpan illat khafi
(tersembunyi) yang mempengaruhi kadar keshahihan hadits tersebut. Sedangkan,
bagian hadits yang sanadnya shaleh, hasan dan jayyid (bagus) mencapai
seperempat isi kitab. Dan sisanya adalah hadits mungkar dan ‘ajaib.
Terdapat sekitar
seratus hadist telah aku pisahkan tersendiri karena akal melihatnya sebagai
kebatilan belaka. Walaupun bagaimanapun, kitab AL-Mustadzrak ala Ash-shahihain
adalah kitab yang berguna sekali. Aku (Adz-Dzahabi) telah berusaha meringkasnya
dengan mengoreksi dan menyeleksinya.[22]
VII. Meninggalnya
Abu Musa Al-Madani
berkata, “Sesungguhnya Abu Abdillah Al-Hakim masuk kamar mandi untuk mandi,
ketika keluar, tiba-tiba terdengar suara ‘ah’ pada waktu terdengar suara ‘ah’
itulah, ruh Abu Abdillah Al-Hakim meniggalkan badannya. Kemudian jasadnya
dimakamkan setelah Ashar hari Rabu. Abu Bakar Al-Qadhi turut menyalati
jenazah”.[23] Meninggal
umur 80 thn, bertepatan pada hari selasa bukan shaffar 405 h. Di kuburkan
setelah ashar dan yang menyolatkan Halim Abu Bakar AL-Khoiri. [24]
Adz-Dzahabi berkata, “
Imam Abu Abdillah Al-Hakim meninggal bulan safar tahun 405 Hijriyah.”[25]
Al-Hasan bin Asy’ats
Al-Qursy berkata, “dalam tidur, aku melihat Imam Abu Abdillah Al-Hakim
menunggang kuda dalam kondisi yang amat baik sekali sambil berkata, “selamat.”
Lalu aku bertanya, “ wahai Al-Hakim, dalam hal apa?” Abu Abdillah Al-Hakim
menjawab, “ dalam menulis hadits. “ As-Subki berkata, “menurutku yang demikian
itu benar”.[26]
VII. Kitabnya Al-Mustadrak ‘Ala as-Shohihain[27].
Tujuan al-Hakim
menyusun kitab al-Mustadrak adalah untuk menghimpun hadis-hadis sahih
berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim, atau salah seorang dari pada mereka,
yang tidak ditulis dalam kitab sahih masing-masing. Al-Hakim telah menghimpun
sebanyak 8,803 hadis di dalamnya dan mensahihkannya mengikut beberapa tahap:
1. Hadist yang sahih mengikut syarat al-Bukhari dan
Muslim.
2. Hadist yang
sahih mengikut syarat salah seorang daripada mereka sama ada syarat
al-Bukhari atau mengikut syarat Muslim.
3. Hadist yang
sahih tanpa disandarkan kepada al-Bukhari atau Muslim yaitu hadis sahih mengikut syarat al-Hakim sendiri.
4. Hadist yang tidak diberi apa-apa derajat. Kemungkinan
al-Hakim bermaksud untuk menilainya setelah siap menyusun kitab al-Mustadrak
tetapi dia tidak sempat untuk menunaikan maksudnya.
Kajian yang dilakukan
semula oleh tokoh-tokoh hadist selepas al-Hakim mendapati wujud beberapa
penyanggahan dalam teknik pensahihan al-Hakim. Mereka dapati hanya sebahagian
hadist yang derajatnya menempati pensahihan al-Hakim manakala selainnya tidak
Ada hadis yang dihukum
sahih oleh al-Hakim berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim akan tetapi ada
pula yang mendapati ia tidak menempati syarat al-Bukhari dan Muslim. Demikian
juga bagi hadis yang beliau sahihkan berdasarkan syarat salah seorang daripada
mereka, atau berdasarkan syarat al-Hakim sendiri. Bahkan adakalanya di balik
pensahihan tersebut, ada pula yang mendapati hadis tersebut sebenarnya memiliki
derajat dha‘if, sangat dha‘if sehingga sampai ke darjat palsu (maudhu’).
Para ahli hadis ini
yang mengetahui penyanggahan ini telah terbagi kepada 3 bagian:
Pertama:
Mereka yang mendakwa beliau adalah seorang ahli hadis tetapi pada masa yang sama juga adalah seorang Syi‘ah al-Rafidhah yang jahat. Oleh itu disahihkan hadis-hadis yang tidak sahih bertujuan mencemari asas-asas Ahl al-Sunnah dan pada waktu yang sama membenarkan Mazhab Syi‘ah.
Mereka yang mendakwa beliau adalah seorang ahli hadis tetapi pada masa yang sama juga adalah seorang Syi‘ah al-Rafidhah yang jahat. Oleh itu disahihkan hadis-hadis yang tidak sahih bertujuan mencemari asas-asas Ahl al-Sunnah dan pada waktu yang sama membenarkan Mazhab Syi‘ah.
Hal ini dijelaskan
oleh al-Zahabi: “Beliau merupakan seorang yang dipercayai tetapi beliau
mensahihkan di dalam kitab Mustadraknya itu beberapa hadis yang digugurkan dan
begitu banyak boleh dijumpai di dalamnya. Aku tidak mengetahui apa yang dia
sembunyikan daripada hal itu atau sememangnya dia tidak mengetahui perkara
tersebut (dari kejahilannya sendiri)”.
Sekiranya dia
mengetahui kesalahan yang dia lakukan itu dan disengajakan, maka itu merupakan
perbuatan khianat dan dia adalah seorang Syiah yang sememangnya masyhur dengan
perlakuan sedemikian dalam mengambil hadist yang bercanggah dengan hadis
riwayat al-Bukhari dan Muslim.
"Perkataan yang agak ‘keras’ dilafazkan oleh Abu Ismail Abdullah
al-Ansari apabila ditanya tentang al-Hakim: “Beliau ialah seorang imam dalam
hadis dan juga Rafidhah yang najis.”
Berkata pula Ibn
Thahir al-Maqdisi: “Beliau adalah seorang yang begitu fanatik dalam jiwanya
terhadap Syiah. Beliau menampakkan dirinya sunnah dengan mendahulukan para
khulafa yang awal, tetapi mula bersikap menyeleweng tentang Mu’awiyah dan ahli
keluarganya secara terang dan langsung tidak memohon maaf atas kesalahannya”.
Al-Zahabi berkata:
“Aku mengambil jalan sederhana dengan menyatakan bahwa beliau bukanlah Rafidhah
(pelampau Syiah) tetapi hanya sekadar seorang Syiah.
Pendapat ini dianggap lemah malah ditolak oleh Ahl al-Sunnah. Ini karena Mazhab Ahl al-Sunnah tidak menghukum seseorang melainkan pada amal zahirnya. Amalan zahir al-Hakim tidak menunjuk atau mengisyaratkan apa-apa tanda bahwa beliau bermazhab Syiah al-Rafidhah.
Pendapat ini dianggap lemah malah ditolak oleh Ahl al-Sunnah. Ini karena Mazhab Ahl al-Sunnah tidak menghukum seseorang melainkan pada amal zahirnya. Amalan zahir al-Hakim tidak menunjuk atau mengisyaratkan apa-apa tanda bahwa beliau bermazhab Syiah al-Rafidhah.
Perkara paling utama
yang boleh dikatakan tentang al-Hakim ialah beliau hanya mengutamakan kecintaan
kepada para Ahl al-Bait dan ini dikenali sebagai al-Tasyaiyu’ atau
al-Mufadhdhilah.
Kedua:
Bagi usaha mengumpulkan 8,803 buah hadis yang sahih menurutnya. al-Hakim telah mengambil jangka masa yang begitu lama sehingga ke penghujung hayatnya. Dalam jangka masa yang lama ini, sebagaimana kebiasaannya bagi orang yang berusia lanjut mereka tidak begitu mantap dalam menghukum derajat sesebuah hadis, bahkan sering keliru.
Bagi usaha mengumpulkan 8,803 buah hadis yang sahih menurutnya. al-Hakim telah mengambil jangka masa yang begitu lama sehingga ke penghujung hayatnya. Dalam jangka masa yang lama ini, sebagaimana kebiasaannya bagi orang yang berusia lanjut mereka tidak begitu mantap dalam menghukum derajat sesebuah hadis, bahkan sering keliru.
Kecerdasan fikiran
yang semakin lemah dan berkemungkinan telah menyebabkan al-Hakim banyak membuat
kekeliruan di dalam periwayatan hadis dalam al-Mustadrak sehingga ke tahap
mensahihkan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang pernah ditolaknya sendiri
dalam kitab yang lain.
Oleh karena kekeliruan
yang begitu nampak ini dalam kajian ilmu hadis, sebagian ahli hadis menganggap
lemah pensahihan hadis al-Hakim sehingga tidak boleh berhujah dengannya
melainkan perlu di teliti lebih dulu.
Ibn Hajar al-‘Asqalani
rahimahullah (852H) menerangkan: (al-Hakim adalah) seorang imam yang sangat benar
dan juga seorang yang sangat bahaya, paling utama yang disebutkan tentangnya
adalah dia digolongkan di kalangan orang-orang yang dha‘if. Tetapi telah
diperkatakan oleh sebahagian ulama tentang keuzurannya kerana dia menulis kitab
al-Mustadrak ketika di penghujung umurnya. Malahan sebahagian yang lain
menyebutkan bahwa beliau telah mulai tidak kuat mengingat.
Ketiga:
Al-Hakim dalam periwayatan hadis agak bermudah-mudahan (tasahul) di dalam mensahihkan sesuatu hadis. Ini sebagaimana terang Ibn al-Shalah rahimahullah (643H): ”Dan dia (al-Hakim) meluaskan syarat penetapan hadis sahih dan mengambil sikap bermudah-mudahan dalam menghukum dengannya.”
Al-Hakim dalam periwayatan hadis agak bermudah-mudahan (tasahul) di dalam mensahihkan sesuatu hadis. Ini sebagaimana terang Ibn al-Shalah rahimahullah (643H): ”Dan dia (al-Hakim) meluaskan syarat penetapan hadis sahih dan mengambil sikap bermudah-mudahan dalam menghukum dengannya.”
Ibnu Dihyah di dalam
kitabnya al-‘Ilm berkata: “Menjadi kewajipan kepada ulama hadis untuk
berwaspada pada setiap perkataan al-Hakim Abu Abdullah karena dia banyak
berbuat keliru, menzahirkan hadits-hadits yang tertolak.”
Berkata Abu Sa’id al-Malini: “Aku telah melihat kitab al-Mustadrak yang
dikarang oleh al-hakim daripada mula hingga akhir dan kau tidak jumpa sebuah
hadits yang terdapat syarat kedua imam tersebut (al-Bukhari dan Muslim).”
Berkata al-Zahabi
dalam mengomentari pendapat tersebut: “Ini merupakan pendapat yang terlalu oleh
al-Malini, sedangkan masih terdapat sejumlah hadis yang menepati syarat kedua
imam tersebut dan sejumlah besar lagi mengikut syarat salah seorang dari
keduanya. Adapun kedua syarat tersebut memenuhi setengah kitabnya, seperempat
di kalangan hadis yang sah dari aspek sanadnya sekalipun terdapat sedikit
kecacatan, dan seperempat lagi yang mengandungi hadis munkar dan lemah yang
tidak sah diamalkan serta selebihnya adalah hadis palsu.”
IX. Penutup
Demikianlah sedikit pemaparan
singkat dari biogarafi salah satu ulama hadist Al-Hakim bin An-Naisabury, semoga
bermanfaat bagi pembaca sekalian. Dan penulis berharap semoga cerita tersebut
bisa memotifasi kita untuk selalu menuntut ilmu sampai akhir hayat dan bisa
kita praktekkan dalam kehidupan kita. Dan penulis minta ma'af jikalau ada kata
yang tidak berkenang dalam hati pembaca penulis minta maaf sebesar-besarnya.
Semoga Allah U selalu menjaga kita dan berpegang terguh dalam diin islam ini.
X. Referensi
v .
Siyar a'lam An-Nubala', Ahmad bin Ustman Ad-Dzahabi.
v . Tubaqatul Hufadz,
Abdurrahman bin Abu bakar As-Suyuthi.
v .Manhaj Al-hakim An-Naisaburi:
Abdullah bin Sulaim bin Salamah As-shoadhi.
v . 60
Biografi Ulama Salaf, Syekh Ahmad Farid.
v . WikiPedia.com/org.
v . Mustadzrak
Al-hakim.html.
[1] .
Siyar a'lam An-Nubala': Ahmad bin Ustman Ad-Dzahabi: 17/162-163. dan Tubaqatul
Hufadz, Abdurrahman bin Abu bakar As-Suyuthi: 410.
[2] .
Maktabah Kafiyah di buku Manhaj Al-hakim An-Naisaburi: Abdullah bin Sulaim bin
Salamah As-shoadhi:46.
[23] .
Manhaj Al-hakim An-Naisaburi: Abdullah bin Sulaim bin Salamah As-shoadhi:46. di
Maktabah Kafiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar