assalamu'alaikum sahabat baca semua terimah kasih atas kunjungan sahabat semua

Minggu, 06 Maret 2016

~ Kaidah fiqih ~



KAIDAH-KAIDAH MENGHILANGKAN MADHARAT DAN MENGHILANGKAN KESUKARAN
  1. Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan menolak kemudhoratan
                Para Fuqoha telah menetapakan kaidah-kaidah Kulliyah di dalam pengambilan hukum-hukum yang berkaitan dengan menolak kemudhoratan, diantara kaidah-kaidah tersebut adalah:
(لا ضرر و لا ضرار)[1] Dhoror adalah melakukan sesuatu yang membahayakan sedang Dhiror adalah membalas bahaya dengan bahaya. Kaidah di atas adalah sabda Nabi saw. Termasuk dari rukun syari’at Islam. Dalam kaidah ini juga sebagai landasan pokok dalam mengantisipasi adanya kemudhoratan, dan sebagai sandaran dalam membuat dan mengadakan kemaslahatan, sehingga hasil dari kaidah tersebut adalah mendatangkan maslahat dan menolak kemudhoratan.
Dengan kaidah di atas kalangan ahli fiqih juga menggunakannya sebagai landasan dalam membangun kaidah fiqih, seperti dalam menolak aib di dalam jual beli, sehingga di dalam akad jual beli ada hak hiyar (hak memilih sebelum terjadi akad jual beli)[2]. Dengan kaidah ini muncul juga adanya hajr[3] (melarang/menghalangi), syuf’ah[4].
Dalam kaitannya dengan kaidah di atas banyak dalil-dalil yang menguatkan kandungan dari kaidah di atas, di mana inti dari kaidah di atas adalah tentang menghilangkan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain dengan cara apapun, diantara dalil-dalil itu adalah,
Firman Allah swt tetang larangan wasiat yang membahayakan:
Artinya: “Setelah ditunaikan wasiat yang dibuat olehnya atau setelah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madhorat kepada ahli waris.” Qs: an-Nisa’: 12.
Firman Allah swt berkenaan larangan ruju’ kepada istri untuk tujuan membahayakan:
Artinya: “Apabila kamu men-talaq istri-istrimu, lalu mereka mendekati masa iddahnya, maka ruju’lah kepada mereka dengan cara yang bagus atau ceraikanlah dengan cara yang baik pula, janganlah kamu ruju’ kepada mereka untuk memberi kemudhoratan, karena yang demikian kamu telah berbuat menganiaya mereka..” Qs: al-Baqorah: 231.
1.        الضرر يدفع بقدر الإمكان Adalah suatu kewajiban menolak kemudhoratan sebelum terjadinya bahaya dengan berbagai cara yang memungkinkan untuk mencegah. sebagaimana disyari’atkannya jihad, lantaran untuk menghalau kejahatan musuh. Dan disyari’atkan untuk meng-hajr seorang yang bodoh akan harta atau seorang yang berlaku boros dan mengahmbur-hamburkan serta mentashorufkan kepada hal-hal yang tidak bermanfaat yang kesemua perbuatannya tidak sejalan dengan syara’, upaya di atas sebagai pencegahan dari madhorot yang menimpa dirinya.
2.       (الضرر يزال) Adanya bahaya harus dihilangkan, menghilangkan pengaruhnya setelah terjadinya madhorot adalah suatu kewajiban. Sebagai contoh adalah apabila ada seseorang yang mengalirkan air bekas mandi atau cuci pakaian dari rumahnya sehingga mengotori dan membuat banjir jalanan serta mengganggu orang yang lewat maka pemilik rumah harus mengalirkan air kearah lain. Contoh lainnya, jika ada pohon tinggi dan besar milik seseorang dan pohon tersebut mengganggu tetangganya maka dahan ponon tersebut harus dipotong. Atau ada seorang yang membangun rumah sampai kearah jalan sehingga mengganggu orang yang berkendaraan dan lewat, maka rumah itu harus dirobohkan karena mengganggu ketentraman umum.
3.        (الضرر لا يزال بمثله) Bahaya yang ada tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang semisal. Tidak boleh menenggelamkan tanah orang lain guna mencegah tenggelamnya tanah miliknya sendiri. Dan tidak boleh merusak harta orang lain agar harta yang ia miliki tidak rusak.
4.       (الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف) Bahaya yang lebih berat dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan. Sebagai contoh adalah Wajib bagi orang kaya untuk menafkahi orang-orang fakir dari kerabatnya. dalam penerapan kaidah di atas dapat dicapai dengan menggunakan dua kaidah sebagai berikut :
1.       يختار أهون الشرين.  (jika ada dua kerusakan maka dipilih yang lebih ringan)
2.       يرتكب أخف الضررين لاتقاء أشدهما sebagai contoh adalah diperbolehkan diam tidak berkomentar tentang mengingkari kemungkaran jika adanya pengakuan itu akan mengakibatkan bahaya yang lebih besar. Dan diperbolehkan membelah perut seorang ibu untuk mengeluarkan janin agar ia masih tetap hidup. Dan memenjarakan suami lantaran menangguhkan nafkah kepada istrinya.
5.        (يحتمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام) Adanya bahaya yang sifatnya khusus guna menanggung bahaya umum, sebagai contoh Adanya larangan bekerja bagi seorang dokter yang bodoh. Dan adanya Hajr bagi seorang Mufti yang suka berkelakar, kesemua contoh di atas adalah sebagai bentuk menolak atau menghilangkan mudhorot yang menimpa banyak orang.
6.       (درء المفاسد أولى من جلب المنافع) maknanya adalah mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan manfaat.[5] Kaidah ini berlandaskan dari sabda Nabi saw (Apa yang aku larang hendaknya kalian tinggalkan, sedang apa yang aku perintahakan hendaknya kalian kerjakan sesuai dengan kemampuan kalian) sebagai contoh adalah dilarang seorang menjual khomer atau yang sejenisnya, walaupun dari penjualan itu mendapatkan laba yang besar. Contoh lainnya dilarangnya seseorang untuk menggunakan hartanya yang penggunaannya akan menimbulkan bahaya bagi tetangganya, yaitu tempat penggilingan dan tempat pembakaran roti, diamana asap yang ditimbulkan mengganggu tetangga. Dan perkara yang dibenci adalah seorang yang berpuasa ia banyak berkumur-kumur ketika berwudhu.
7.       (الضرورات تبيح المحظرات) maknanya dalam keadaan darurat diperbolehkan melakukan perkara yang terlarang. dalam menerangkan kaidah ini, ada ayat al-Quran yang menyebutkan kehujjahan kaidah ini. Di dalam QS: al-Maidah, 3. Artinya : “Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”al-Maidah,3.
 Disebutkan bahwa diperbolehkan seseorang yang dalam keadaan kritis ia memakan bangkai, minum darah atau memakan yang diharamkan. Tentunya hanya sekedar menutupi agar ia tidak terjatuh kepada kebinasaan saja, dan tidak berlebihan.
8.       (الضرورات تقدر بقدرها) maknanya darurat ditentukan sesuai dengan kadarnya. Sebagai contoh adalah seorang yang kelaparan memakan yang haram kecuali sebelumnya ia harus memperhatikan terlebih dahulu apakah ia benar-benar dalam keadaan kelaparan hampir mati jika tidak memakan sesuap apapun. Dan tidak diperbolehkan bagi seorang wanita ketika mendapati dirinya sakit ia lantas pergi ke docter laki-laki, selagi memungkinkan masih ada dan mencari docter wanita. Dan batal dan tidak adanya rukhshoh[6] karena sebabnya sudah hilang, yaitu orang yang hendak tayamum tapi ia sudah mendapat air untuk wudhu atau safar pada bulan ramadhon.
9.       (الاضطرار لا يبطل حق بقدرها) maknanya keterpasaan tidak membatalkan hak orang lain. Sebagai contoh adalah dengan keadaan terpaksa seseorang memakan makanan orang lain guna menghilangkan kebinasaan bagi dirinya, maka orang yang memakan  wajib mengganti rugi.

B.      Kaidah-kaidah menghilangkan kesempitan dan kesukaran
Disamping para ulama meletakkan kaidah-kaidah tentang menolak adanya bahaya, mereka juga meletakkan kaidah-kaidah yang berkaitan erat dengan menghilangkan kesempitan, atau kesukaran. Diantara kaidah-kaidahnya sebagai berikut;-
1.       (المشقة تجلب تيسير) maknanya adalah kesulitan di dalam praktek hukum-hukum syar’i menyebabkan adanya kemudahan dalam menjalankan ibadah. Dan yang dimaksudkan bahwa Masyaqoh Zaidah selain Mu’tadah maka dapat mendapatkan keringanan, dikarenakan di dalam Masyaqoh[7] ada keringanan.
Kaidah di atas adalah salah satu dari kaidah-kaidah pokok yang ada dalam fiqih Madzahib dan termasuk dari pondasi dalam syari’at Ibadah, hal mana ini berlandaskan pada firman Allah swt,
Artinya: “Allah swt menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. Al-Baqorah, 185.
Artinya: “Dan Dia (Allah swt) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
Dan di dalam sabda Nabi saw, : “Sesungguhnya Allah swt menjadikan pada umatku ada salah, lupa dan apa yang di bencinya.”
Dari dalil-dalil di atas maka dibangunlah kaidah ini sebagai bentuk penjagaan terhadap kebiasaan serta sebagai aplikasi dari seluruh keringanan yang telah ditetapkan oleh Allah swt atas seorang Mukallaf, tentunya berangkat dari beberapa sebab sehingga Mukalaf mendapat keringanan. Diantara sebab-sebabnya adalah;-
a.       Safar. Safar adalah sebagian dari azab, karena di dalamnya terdapat kesulitan dan kerepotan yang kebanyakan orang tidak kuasa menanggungnya. Sehingga seorang mendapat keringanan karena bersafar. Sebagai contoh Adanya safar seorang diperbolehkan untuk membatalakan puasa pada bulan ramadhon, dan meng-qoshor solat, dan diperbolehkan tayamum jika tidak mendapatkan air dan meninggalkan solat jum’at dan solat jam’ah.
b.      Sakit. Jika dalam keadaan sakit (parah) seorang mukalaf di perbolehkan untuk tidak puasa pada bulan ramadhon, dan diperbolehkan bertayamum, solat dengan duduk, meninggalkan jihad, jika memungkinkan dapat mengerjakan kesemuanya maka itu lebih baik. Dan diperbolehkan meminum obat yang haram guna mengobati penyakit yang diderita, tentunya jika tidak didapati obat lainnya kecuali itu.
c.       Lupa. Dapat dimaafkan jika seorang benar-benar lupa tidak mengerjakan perkara-perkara yang wajib, atau lantaran lupa ia mengerjakan maksiat, atau seorang makan pada waktu puasa padahal belum waktunya untuk berbuka puasa, dan diperbolehkan seorang memakan daging hewan sembelihan yang dalam penyembelihannya tidak menyebut nama Allah karena lupa. Nabi Muhammad saw bersabda,
Artinya: “barangsiapa yang lupa solat atau ketiduran belum mengerjakannya, maka kaffaraohnya adalah mengerjakan saat dia ingat”. (HR: Bukhori 597, Muslim 684)
d.      Paksaan (al-ikrah)[8]. Karena dipakasa dan diancam dibunuh maka seorang boleh mengucapakan kata-kata kufur, dan meninggalkan kewajiban, dan merusak harta orang lain, memakan bangkai dan meminum khomer, itu semua jika dalam keadaan dipaksa. Di dalam al-Quran Allah swt berfirman,
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah swt sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)...Qs: an-Nahl 106.
Di dalam kaitannya dengan al-Ikrah ini ada syarat-syarat ketentuan, diantaranya[9];
1.        Pihak pemaksa mampu merealisasikan ancamannya, jika tidak maka ancaman itu hanya halusinasi saja.
2.       Pihak yang dipaksa memiliki dugaan kuat bahwa jika seandainya ia tidak melaksanakan apa yang dipaksakan maka ia si pemaksa merealisasikan ancamannya.
3.       Paksaan yang mengandung ancaman keselamatan jiwa, harta dan tubuh.
4.       Sebelum adanya paksaan, pihak yang dipaksa sebenarnya tidak ingin melakukan apa yang dipaksakan kepadanya itu adakalanya karena berkaitan dengan haknya sendiri, seperti dipaksa menjual hartanya sendiri.
5.       Ancaman yang ada lebih berat bagi pihak yang dipaksa daripada apa yang dipaksakan kepadanya.
6.       Melakukan dan melaksanakan apa yang dipaksakan bisa berkonsekuensi selamat dari ancaman yang ada.
7.       Ancaman yang ada bersifat segera.
8.       Pihak yang dipaksa tidak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dipaksakan kepadanya.
9.       Ulama Syafi’iyah mensyaratkan bahwa apa yang dipaksakan harus ditentukan.
10.   Ancaman yang ada bukan merupakan hak pihak yang memaksa  ia memanfaatkan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya dan pula suatu hal yang wajib.
11.   Sesuatu yang diancamkan bukan merupakan yang memang harus diberlakukan terhadap yang orang dipaksa.
e.      Bodoh. Boleh dilanjutkan akad dalam perkara wakalah jika seorang wakil itu tidak mengetahui, atau seorang pembeli dapat mengembalikan barang yang dibeli kepada pedagang jika dalam pembeliannya terdapat cacat yang tidak diketahui oleh penjual, bolehnya membatalakan pernikahan dikarenakan ada aib pada salah satu dari keduanya.
f.        Kekurangan. Ada beberapa kekurangan yang terdapat pada seseorang, baik kekurangan fisik maupun non-fisik, maka semua kekurangan itu bisa menjadi sebab seseorang mendapatkan keringanan.
Sebagai contoh orang yang kurang fisiknya maka ia tidak mendapatkan kewajiban untuk berjihad.
g.       Belum genap umur/ kurang. Tidak adanya tanggungan pada seorang yang belum mendapatkan ahliyah (kelayakan mendapat beban taklif) seperti anak kecil dan orang gila, hilangnya kewajiban atas diri seorang yang belum terkena taklif solat jam’ah dan jum’at dan jihad bagi wanita dan budak.
h.      Umumul Balwa/ perkara yang dimaklumi. Dalam keadaan-keadaan tertentu manusia sulit sekali menghindari dari hal-hal yang tidak boleh, dengan demikian maka manusia diberi keringanan untuk itu. Sebagai contoh, dapat dimaafkan kepada seseorang yang tidak dapat menjaga dirinya dari percikan air najis yang mengenainya, baik dari tanah maupun dari jalan besar. Ketika mereka bermu’asyaroh dan bermuamalah karenanya jika dinajiskan maka akan memberatkan bagi mereka sehingga hal ini mendapat keringanan.  
Pernah suatu ketika Nabi Muhammad saw ditanya tentang najis kucing maka beliau bersabda,
Arinya: “Sesungguhnya ia tidak najis karena dia binatang yang sellau keliling diantara kalian.” (abu dawud 75, nasai 1/55, tirmidzi 92, ibnu mjah 367)
Adapun di makna kaidah:
jika suaru perkara itu menyempit maka akan menjadi meluas, namun jika meluas akan menjadi sempit”
Apabila ada sesuatu yang membuat suatu perkara menjadi sulit, maka akan mendapat kemudahan dan keringanan dari syari’at, namun jika kesulitan itu sudah hilang maka kembali kepada hukum asal.  Sebagai landasan kaidah ini adalah firman Allah swt di dalam Qs: an-Nisa’ 101-105.
2.        (الحرج مرفوع شرعاً) maknanya adalah perkara yang merugikan maka harus dihilangkan secara syar’i, sebagai contoh diterimanya kesaksian satu orang perempuan jika tidak didapati laki-laki yang sudah terkena aib.
3.    (الحاجة تنزل منزلة الضرورة، عامة كانت أو خاصة)  maknanya adalah hajat atau keperluan seseorang dapat dianggap darurat, baik hajt umum atau khusus.


[1].  Kaidah ini adalah hadits nabi saw, yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, yang dikeluarkan oleh Hakim didalam al-Mustadrok, Baihaqi, adapun dari jalur Ibnu Abbas dan ‘Ubadah bin Shomit dikeluarkan oleh Ibnu Majah.
[2]. Hiyar dalam hal ini ada beberapa macam sebagaimana yang diterangkan oleh DR. Wahbah az-Zuhaili di dalam kitab al-Wajiz fi Fiqhil Islami diantaranya : hiyar wasfi, hiyar naqdi, hiyar ta’yin, hiyar ghoban ma’a taghrir, hiyar kasyful hal, hiyar khiyanah, hiyar tafaruq as-Shufqoh, hiyar Ijazatu ‘aqdu fudhuli, hiyar ta’aluq hak ghoirul mabi’, hiyar kamiyah, hiyar istihqoq, hiyar qubul, hiyar syart, hiyar ‘aib, hiyar ru’yah.
[3]. al-hajr secara bahasa adalah al-man’u (melarang atau menghalangi) dan at-tadhyiiq (mempersempit). Sedangkan menurut istilah fiqih adalah melarang seseorang untuk menggunakan atau mentashorufkan hartanya.
[4]. Syuf’ah secara bahasa diambil dari kata asy-syaf’u yang berarti adh-dhommu (menggabungkan) atau menambahdan menguatkan. Secara istilah fiqih syuf’ah adalah hak untuk memiliki secara paksa dari harta yang tidak bergerak yang dijual, dengan mengganti harga pembayaran dan semua biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak pembeli dengan tujuan menghindari kemudhoratan berupa masuknya syariik baru, atau tetangga baru.
[5] . Kaidah diatas tidaklah berlaku secara mutlak, namun perlu diperinci dengan melihat kecilnya maslahat dan mafsadahnya.  Yang perlu diperhatikan apabila maslahat dan mafsadah seimbang kedudukannya, maka secara umum saat itu menolakmafsadah lebih didahulukan dari pada meraih kemaslahatan yang ada. 
[6]. Rukhshoh ada beberapa empat macam:
a.        Diperbolehkan bagi seseorang mengerjakan yang haram ketika dalam keadaan darurat, atau dalam perkara hajiyat.
b.        Diperbolehkan meninggalkan hal yang wajib, jika dalam mengerjakannya ada masyaqoh.
c.        Diperbolehkan melakukan akad dan tashoruf terhadap barang yang dibutuhkan oleh kebanyakan orang waluapun akad itu menyelisihi kaidah-kaidah syar’i.
d.        Dengan menghilankan hukum-hukum masyaqoh di mana secara syara’ telah ditentukan, yang tujuannya untuk memberikan keringanan kepada umat islam. 
[7]. masyaqoh ada dua macam yaitu masyaqoh Mu’tadah dan ghoiru Mu’tadah. Mu’tadah adalah masyaqoh yang manusia dapat mengatasinya tanpa menghadirkan kemadhorotan di dalamnya. Sedang ghoiru mu’tadah adalah masyaqoh tambahan yang manusia tidak dapat mengatasinya kecuali dengan melakukan hal yang dilarang guna menanggulangi kerusakan atau bahaya jika tidak diatasi.
[8]. Al-ikrah secara bahasa adalah menjadikan seseorang melakukan sesuatu yang tidak disuakinya secara paksa. Sedangkan menurut istilah fiqih adalah mendorong orang lain melakukan sesuatu yang tidak disukai dan seandainya ia dibiarkan, maka ia tidak memiliki kemauan untuk melakukannya. Dalam perkara al-Ikrah ini ahli fiqih membaginya menjadi dua, yaitu al-Ikrah mulji’ dan al-Ikrah ghoiru mulji’.  Adapun al-Ikrah mulji’ adalah paksaan yang membuat seseorang (yang dipaksa) tidak lagi memiliki kuasa dan kehilangan kebebasan berkehendak dan memilih. Sedangkan al-Ikrah ghoiru mulji’ adalah paksaan yang dengan bentuk ancaman yang tidak sampai mengancam keselamatan jiwa dan anggota tubuh.
[9] . lihat: fiqih Islam wa adillatuhu, DR. Wahbah az-Zuhaili  bab al-Ikrah 6/343-345.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar