KAIDAH-KAIDAH
MENGHILANGKAN MADHARAT DAN MENGHILANGKAN KESUKARAN
- Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan menolak kemudhoratan
Para Fuqoha telah menetapakan
kaidah-kaidah Kulliyah di dalam pengambilan hukum-hukum yang berkaitan dengan
menolak kemudhoratan, diantara kaidah-kaidah tersebut adalah:
(لا ضرر و لا ضرار)[1] Dhoror
adalah melakukan sesuatu yang membahayakan sedang Dhiror adalah membalas bahaya
dengan bahaya. Kaidah di atas adalah sabda Nabi saw. Termasuk dari rukun
syari’at Islam. Dalam kaidah ini juga sebagai landasan pokok dalam mengantisipasi
adanya kemudhoratan, dan sebagai sandaran dalam membuat dan mengadakan
kemaslahatan, sehingga hasil dari kaidah tersebut adalah mendatangkan maslahat
dan menolak kemudhoratan.
Dengan kaidah di atas kalangan
ahli fiqih juga menggunakannya sebagai landasan dalam membangun kaidah fiqih,
seperti dalam menolak aib di dalam jual beli, sehingga di dalam akad jual beli
ada hak hiyar (hak memilih sebelum terjadi akad jual beli)[2].
Dengan kaidah ini muncul juga adanya hajr[3]
(melarang/menghalangi), syuf’ah[4].
Dalam kaitannya dengan kaidah di
atas banyak dalil-dalil yang menguatkan kandungan dari kaidah di atas, di mana
inti dari kaidah di atas adalah tentang menghilangkan sesuatu yang membahayakan
diri sendiri dan orang lain dengan cara apapun, diantara dalil-dalil itu
adalah,
Firman Allah swt tetang larangan
wasiat yang membahayakan:
Artinya: “Setelah ditunaikan
wasiat yang dibuat olehnya atau setelah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
madhorat kepada ahli waris.” Qs: an-Nisa’: 12.
Firman Allah swt berkenaan larangan
ruju’ kepada istri untuk tujuan membahayakan:
Artinya: “Apabila kamu
men-talaq istri-istrimu, lalu mereka mendekati masa iddahnya, maka ruju’lah
kepada mereka dengan cara yang bagus atau ceraikanlah dengan cara yang baik
pula, janganlah kamu ruju’ kepada mereka untuk memberi kemudhoratan, karena
yang demikian kamu telah berbuat menganiaya mereka..” Qs: al-Baqorah: 231.
1. الضرر يدفع بقدر الإمكان Adalah suatu kewajiban menolak
kemudhoratan sebelum terjadinya bahaya dengan berbagai cara yang memungkinkan
untuk mencegah. sebagaimana
disyari’atkannya jihad, lantaran untuk menghalau kejahatan musuh. Dan
disyari’atkan untuk meng-hajr seorang yang bodoh akan harta atau seorang yang
berlaku boros dan mengahmbur-hamburkan serta mentashorufkan kepada hal-hal yang
tidak bermanfaat yang kesemua perbuatannya tidak sejalan dengan syara’, upaya
di atas sebagai pencegahan dari madhorot yang menimpa dirinya.
2. (الضرر يزال) Adanya bahaya harus dihilangkan, menghilangkan
pengaruhnya setelah terjadinya madhorot adalah suatu kewajiban. Sebagai contoh
adalah apabila ada seseorang yang mengalirkan air bekas mandi atau cuci pakaian
dari rumahnya sehingga mengotori dan membuat banjir jalanan serta mengganggu
orang yang lewat maka pemilik rumah harus mengalirkan air kearah lain. Contoh
lainnya, jika ada pohon tinggi dan besar milik seseorang dan pohon tersebut
mengganggu tetangganya maka dahan ponon tersebut harus dipotong. Atau ada
seorang yang membangun rumah sampai kearah jalan sehingga mengganggu orang yang
berkendaraan dan lewat, maka rumah itu harus dirobohkan karena mengganggu
ketentraman umum.
3. (الضرر
لا يزال بمثله) Bahaya yang ada tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang semisal.
Tidak boleh menenggelamkan tanah orang lain guna mencegah tenggelamnya tanah
miliknya sendiri. Dan tidak boleh merusak harta orang lain agar harta yang ia
miliki tidak rusak.
4. (الضرر الأشد يزال بالضرر
الأخف) Bahaya
yang lebih berat dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan. Sebagai contoh
adalah Wajib bagi orang kaya untuk menafkahi orang-orang fakir dari kerabatnya.
dalam penerapan kaidah di atas dapat dicapai dengan menggunakan dua kaidah
sebagai berikut :
1. يختار أهون الشرين. (jika ada dua kerusakan maka dipilih yang lebih ringan)
2. يرتكب أخف الضررين لاتقاء أشدهما sebagai
contoh adalah diperbolehkan diam tidak berkomentar tentang mengingkari
kemungkaran jika adanya pengakuan itu akan mengakibatkan bahaya yang lebih
besar. Dan diperbolehkan membelah perut seorang ibu untuk mengeluarkan janin
agar ia masih tetap hidup. Dan memenjarakan suami lantaran menangguhkan nafkah
kepada istrinya.
5. (يحتمل
الضرر الخاص لدفع ضرر عام) Adanya bahaya yang sifatnya khusus guna menanggung bahaya umum,
sebagai contoh Adanya larangan bekerja bagi seorang dokter yang bodoh. Dan
adanya Hajr bagi seorang Mufti yang suka berkelakar, kesemua contoh di atas
adalah sebagai bentuk menolak atau menghilangkan mudhorot yang menimpa banyak
orang.
6. (درء المفاسد أولى من جلب
المنافع) maknanya
adalah mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan manfaat.[5]
Kaidah ini berlandaskan dari sabda Nabi saw (Apa yang aku larang hendaknya
kalian tinggalkan, sedang apa yang aku perintahakan hendaknya kalian kerjakan
sesuai dengan kemampuan kalian) sebagai contoh adalah dilarang seorang
menjual khomer atau yang sejenisnya, walaupun dari penjualan itu mendapatkan
laba yang besar. Contoh lainnya dilarangnya seseorang untuk menggunakan
hartanya yang penggunaannya akan menimbulkan bahaya bagi tetangganya, yaitu
tempat penggilingan dan tempat pembakaran roti, diamana asap yang ditimbulkan
mengganggu tetangga. Dan perkara yang dibenci adalah seorang yang berpuasa ia
banyak berkumur-kumur ketika berwudhu.
7. (الضرورات تبيح المحظرات) maknanya
dalam keadaan darurat diperbolehkan melakukan perkara yang terlarang. dalam
menerangkan kaidah ini, ada ayat al-Quran yang menyebutkan kehujjahan kaidah
ini. Di dalam QS: al-Maidah, 3. Artinya : “Maka barangsiapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”al-Maidah,3.
Disebutkan bahwa diperbolehkan seseorang yang
dalam keadaan kritis ia memakan bangkai, minum darah atau memakan yang
diharamkan. Tentunya hanya sekedar menutupi agar ia tidak terjatuh kepada
kebinasaan saja, dan tidak berlebihan.
8. (الضرورات تقدر بقدرها) maknanya
darurat ditentukan sesuai dengan kadarnya. Sebagai contoh adalah seorang yang
kelaparan memakan yang haram kecuali sebelumnya ia harus memperhatikan terlebih
dahulu apakah ia benar-benar dalam keadaan kelaparan hampir mati jika tidak
memakan sesuap apapun. Dan tidak diperbolehkan bagi seorang wanita ketika
mendapati dirinya sakit ia lantas pergi ke docter laki-laki, selagi
memungkinkan masih ada dan mencari docter wanita. Dan batal dan tidak adanya
rukhshoh[6]
karena sebabnya sudah hilang, yaitu orang yang hendak tayamum tapi ia sudah
mendapat air untuk wudhu atau safar pada bulan ramadhon.
9. (الاضطرار لا يبطل حق
بقدرها) maknanya keterpasaan tidak membatalkan hak orang lain. Sebagai
contoh adalah dengan keadaan terpaksa seseorang memakan makanan orang lain guna
menghilangkan kebinasaan bagi dirinya, maka orang yang memakan wajib mengganti rugi.
B. Kaidah-kaidah
menghilangkan kesempitan dan kesukaran
Disamping para ulama meletakkan
kaidah-kaidah tentang menolak adanya bahaya, mereka juga meletakkan
kaidah-kaidah yang berkaitan erat dengan menghilangkan kesempitan, atau
kesukaran. Diantara kaidah-kaidahnya sebagai berikut;-
1. (المشقة
تجلب تيسير) maknanya adalah kesulitan di dalam praktek
hukum-hukum syar’i menyebabkan adanya kemudahan dalam menjalankan ibadah. Dan
yang dimaksudkan bahwa Masyaqoh Zaidah selain Mu’tadah maka dapat mendapatkan
keringanan, dikarenakan di dalam Masyaqoh[7]
ada keringanan.
Kaidah di atas adalah salah satu dari
kaidah-kaidah pokok yang ada dalam fiqih Madzahib dan termasuk dari pondasi
dalam syari’at Ibadah, hal mana ini berlandaskan pada firman Allah swt,
Artinya: “Allah swt menghendaki
kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. Al-Baqorah, 185.
Artinya: “Dan Dia (Allah swt) tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
Dan di dalam sabda Nabi saw, : “Sesungguhnya
Allah swt menjadikan pada umatku ada salah, lupa dan apa yang di bencinya.”
Dari dalil-dalil di atas maka dibangunlah
kaidah ini sebagai bentuk penjagaan terhadap kebiasaan serta sebagai aplikasi
dari seluruh keringanan yang telah ditetapkan oleh Allah swt atas seorang
Mukallaf, tentunya berangkat dari beberapa sebab sehingga Mukalaf mendapat
keringanan. Diantara sebab-sebabnya adalah;-
a. Safar. Safar
adalah sebagian dari azab, karena di dalamnya terdapat kesulitan dan kerepotan
yang kebanyakan orang tidak kuasa menanggungnya. Sehingga seorang mendapat
keringanan karena bersafar. Sebagai contoh Adanya safar seorang diperbolehkan
untuk membatalakan puasa pada bulan ramadhon, dan meng-qoshor solat, dan
diperbolehkan tayamum jika tidak mendapatkan air dan meninggalkan solat jum’at
dan solat jam’ah.
b. Sakit. Jika
dalam keadaan sakit (parah) seorang mukalaf di perbolehkan untuk tidak puasa
pada bulan ramadhon, dan diperbolehkan bertayamum, solat dengan duduk,
meninggalkan jihad, jika memungkinkan dapat mengerjakan kesemuanya maka itu
lebih baik. Dan diperbolehkan meminum obat yang haram guna mengobati penyakit
yang diderita, tentunya jika tidak didapati obat lainnya kecuali itu.
c. Lupa. Dapat
dimaafkan jika seorang benar-benar lupa tidak mengerjakan perkara-perkara yang
wajib, atau lantaran lupa ia mengerjakan maksiat, atau seorang makan pada waktu
puasa padahal belum waktunya untuk berbuka puasa, dan diperbolehkan seorang
memakan daging hewan sembelihan yang dalam penyembelihannya tidak menyebut nama
Allah karena lupa. Nabi Muhammad saw bersabda,
Artinya: “barangsiapa yang lupa solat atau ketiduran belum
mengerjakannya, maka kaffaraohnya adalah mengerjakan saat dia ingat”. (HR:
Bukhori 597, Muslim 684)
d. Paksaan (al-ikrah)[8].
Karena dipakasa dan diancam dibunuh maka seorang boleh mengucapakan kata-kata
kufur, dan meninggalkan kewajiban, dan merusak harta orang lain, memakan
bangkai dan meminum khomer, itu semua jika dalam keadaan dipaksa. Di dalam
al-Quran Allah swt berfirman,
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah swt sesudah dia
beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)...Qs:
an-Nahl 106.
Di dalam kaitannya dengan al-Ikrah ini ada syarat-syarat
ketentuan, diantaranya[9];
1. Pihak pemaksa mampu merealisasikan ancamannya,
jika tidak maka ancaman itu hanya halusinasi saja.
2. Pihak yang
dipaksa memiliki dugaan kuat bahwa jika seandainya ia tidak melaksanakan apa
yang dipaksakan maka ia si pemaksa merealisasikan ancamannya.
3. Paksaan yang
mengandung ancaman keselamatan jiwa, harta dan tubuh.
4. Sebelum
adanya paksaan, pihak yang dipaksa sebenarnya tidak ingin melakukan apa yang
dipaksakan kepadanya itu adakalanya karena berkaitan dengan haknya sendiri,
seperti dipaksa menjual hartanya sendiri.
5. Ancaman yang
ada lebih berat bagi pihak yang dipaksa daripada apa yang dipaksakan kepadanya.
6. Melakukan dan
melaksanakan apa yang dipaksakan bisa berkonsekuensi selamat dari ancaman yang
ada.
7. Ancaman yang
ada bersifat segera.
8. Pihak yang
dipaksa tidak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dipaksakan kepadanya.
9. Ulama
Syafi’iyah mensyaratkan bahwa apa yang dipaksakan harus ditentukan.
10. Ancaman yang
ada bukan merupakan hak pihak yang memaksa
ia memanfaatkan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya dan pula
suatu hal yang wajib.
11. Sesuatu yang
diancamkan bukan merupakan yang memang harus diberlakukan terhadap yang orang
dipaksa.
e. Bodoh. Boleh
dilanjutkan akad dalam perkara wakalah jika seorang wakil itu tidak mengetahui,
atau seorang pembeli dapat mengembalikan barang yang dibeli kepada pedagang
jika dalam pembeliannya terdapat cacat yang tidak diketahui oleh penjual,
bolehnya membatalakan pernikahan dikarenakan ada aib pada salah satu dari
keduanya.
f.
Kekurangan. Ada beberapa kekurangan yang
terdapat pada seseorang, baik kekurangan fisik maupun non-fisik, maka semua
kekurangan itu bisa menjadi sebab seseorang mendapatkan keringanan.
Sebagai contoh orang yang kurang fisiknya
maka ia tidak mendapatkan kewajiban untuk berjihad.
g. Belum genap
umur/ kurang. Tidak adanya tanggungan pada seorang yang belum mendapatkan
ahliyah (kelayakan mendapat beban taklif) seperti anak kecil dan orang gila,
hilangnya kewajiban atas diri seorang yang belum terkena taklif solat jam’ah
dan jum’at dan jihad bagi wanita dan budak.
h. Umumul
Balwa/ perkara
yang dimaklumi. Dalam keadaan-keadaan tertentu manusia sulit sekali menghindari
dari hal-hal yang tidak boleh, dengan demikian maka manusia diberi keringanan
untuk itu. Sebagai contoh, dapat dimaafkan kepada seseorang yang tidak dapat
menjaga dirinya dari percikan air najis yang mengenainya, baik dari tanah
maupun dari jalan besar. Ketika mereka bermu’asyaroh dan bermuamalah karenanya
jika dinajiskan maka akan memberatkan bagi mereka sehingga hal ini mendapat
keringanan.
Pernah suatu ketika Nabi Muhammad saw
ditanya tentang najis kucing maka beliau bersabda,
Arinya: “Sesungguhnya ia tidak najis
karena dia binatang yang sellau keliling diantara kalian.” (abu dawud 75,
nasai 1/55, tirmidzi 92, ibnu mjah 367)
Adapun di makna kaidah:
“jika suaru perkara itu
menyempit maka akan menjadi meluas, namun jika meluas akan menjadi sempit”
Apabila ada sesuatu
yang membuat suatu perkara menjadi sulit, maka akan mendapat kemudahan dan
keringanan dari syari’at, namun jika kesulitan itu sudah hilang maka kembali
kepada hukum asal. Sebagai landasan
kaidah ini adalah firman Allah swt di dalam Qs: an-Nisa’ 101-105.
2. (الحرج
مرفوع شرعاً) maknanya adalah perkara yang merugikan maka
harus dihilangkan secara syar’i, sebagai contoh diterimanya kesaksian satu
orang perempuan jika tidak didapati laki-laki yang sudah terkena aib.
3.
(الحاجة
تنزل منزلة الضرورة، عامة كانت أو خاصة) maknanya adalah hajat atau keperluan seseorang
dapat dianggap darurat, baik hajt umum atau khusus.
[1]. Kaidah
ini adalah hadits nabi saw, yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, yang
dikeluarkan oleh Hakim didalam al-Mustadrok, Baihaqi, adapun dari jalur Ibnu
Abbas dan ‘Ubadah bin Shomit dikeluarkan oleh Ibnu Majah.
[2]. Hiyar dalam hal ini ada beberapa macam
sebagaimana yang diterangkan oleh DR. Wahbah az-Zuhaili di dalam kitab al-Wajiz
fi Fiqhil Islami diantaranya : hiyar wasfi, hiyar naqdi, hiyar ta’yin,
hiyar ghoban ma’a taghrir, hiyar kasyful hal, hiyar khiyanah, hiyar tafaruq
as-Shufqoh, hiyar Ijazatu ‘aqdu fudhuli, hiyar ta’aluq hak ghoirul mabi’, hiyar
kamiyah, hiyar istihqoq, hiyar qubul, hiyar syart, hiyar ‘aib, hiyar ru’yah.
[3]. al-hajr secara bahasa adalah al-man’u
(melarang atau menghalangi) dan at-tadhyiiq (mempersempit). Sedangkan menurut
istilah fiqih adalah melarang seseorang untuk menggunakan atau mentashorufkan
hartanya.
[4]. Syuf’ah secara bahasa diambil dari
kata asy-syaf’u yang berarti adh-dhommu (menggabungkan) atau
menambahdan menguatkan. Secara istilah fiqih syuf’ah adalah hak untuk
memiliki secara paksa dari harta yang tidak bergerak yang dijual, dengan
mengganti harga pembayaran dan semua biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak
pembeli dengan tujuan menghindari kemudhoratan berupa masuknya syariik baru,
atau tetangga baru.
[5] . Kaidah diatas tidaklah berlaku secara
mutlak, namun perlu diperinci dengan melihat kecilnya maslahat dan
mafsadahnya. Yang perlu diperhatikan
apabila maslahat dan mafsadah seimbang kedudukannya, maka secara umum saat itu
menolakmafsadah lebih didahulukan dari pada meraih kemaslahatan yang ada.
[6]. Rukhshoh ada beberapa empat macam:
a.
Diperbolehkan bagi seseorang mengerjakan yang haram
ketika dalam keadaan darurat, atau dalam perkara hajiyat.
b.
Diperbolehkan meninggalkan hal yang wajib, jika dalam
mengerjakannya ada masyaqoh.
c.
Diperbolehkan melakukan akad dan tashoruf terhadap
barang yang dibutuhkan oleh kebanyakan orang waluapun akad itu menyelisihi
kaidah-kaidah syar’i.
d.
Dengan menghilankan hukum-hukum masyaqoh di mana secara
syara’ telah ditentukan, yang tujuannya untuk memberikan keringanan kepada umat
islam.
[7]. masyaqoh ada dua macam yaitu
masyaqoh Mu’tadah dan ghoiru Mu’tadah. Mu’tadah adalah masyaqoh yang manusia
dapat mengatasinya tanpa menghadirkan kemadhorotan di dalamnya. Sedang ghoiru
mu’tadah adalah masyaqoh tambahan yang manusia tidak dapat mengatasinya kecuali
dengan melakukan hal yang dilarang guna menanggulangi kerusakan atau bahaya
jika tidak diatasi.
[8]. Al-ikrah secara bahasa adalah
menjadikan seseorang melakukan sesuatu yang tidak disuakinya secara paksa.
Sedangkan menurut istilah fiqih adalah mendorong orang lain melakukan sesuatu
yang tidak disukai dan seandainya ia dibiarkan, maka ia tidak memiliki kemauan
untuk melakukannya. Dalam perkara al-Ikrah ini ahli fiqih membaginya
menjadi dua, yaitu al-Ikrah mulji’ dan al-Ikrah ghoiru mulji’. Adapun al-Ikrah mulji’ adalah paksaan
yang membuat seseorang (yang dipaksa) tidak lagi memiliki kuasa dan kehilangan
kebebasan berkehendak dan memilih. Sedangkan al-Ikrah ghoiru mulji’ adalah
paksaan yang dengan bentuk ancaman yang tidak sampai mengancam keselamatan jiwa
dan anggota tubuh.
[9] . lihat: fiqih Islam wa adillatuhu, DR. Wahbah
az-Zuhaili bab al-Ikrah 6/343-345.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar