assalamu'alaikum sahabat baca semua terimah kasih atas kunjungan sahabat semua

Rabu, 02 Maret 2016

Fiqih -Wadi'ah-



Al-Wadi’ah
Secara bahasa wadi’ah bisa diartikan dengan meningalkan atau titipan, sedangkan secara istilah wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Ada juga yang mengatakan bahwa wadi’ah adalah memanfaatkan sesuatu di tempat yang bukan pada pemiliknya untuk dipelihara atau dijaga. Akad wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong-menolong antara sesama manusia. Menurut para ulama’ madzhab hanafi mendefinisikan wadi’ah sebagai berikut :
“Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas maupun melalui isyarat”

Sebagai contoh, ada seseorang mengatakan : “Saya titipkan tas saya ini pada anda”, lalu dijawab : “Saya terima”, dengan dekian sempurnalah akad wadi’ah atau juga dengan cara : “Saya titipkan tas saya ini pada anda”, tetapi orang yang dititipi diam saja (tanda setuju).
Sedangkan menurut para ulama’ Syafi’i, Maliki, dan Hanbali (Jumhur Ulama) mendefinisikan wadi’ah sebagai berikut :
“Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”.
Atau pemberian mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki atau barang yang secara khusus dimiliki seseorang, dengan cara tertentu.
• Landasan (dasar) hukum wadi’ah
Konsep wadi’ah mendapat pengakuan dan legalitas syara’, diantaranya firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 58 yang berbunyi :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (QS An-Nisa : 58)
Menurut para Mufassir, ayat ini berkaitan dengan penitipan kunci Ka’bah kepada Ustman bin Thalhah (seorang sahabat Nabi), sebagai amanat dari Allah SWT. Dan juga dalam Al-Qu’an surat Al-baqarah : 283, yang berbunyi :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Artinya: jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah : 283).

Dan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
“Serahkanlan amanat kepada orang yang mempercayai anda dan janganlah anda mengkhianati orang yang mengkhianati anda”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Hakim).
Berdasarkan ayat-ayat dan hadits di atas, para ulama’ sepakat mengatakan bahwa akad wadi’ah (titipan) hukumnya mandub (disunatkan), dalam rangka tolong-menolong sesama manusia. Oleh sebab itu, Ibnu Qudamah menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah sampai generasi berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali yaitu consensus dalam praktek bagi umat Islam dan tidak ada orang yang menentangnya.

• Rukun dan Syarat
Menurut Hanafiyah rukun wadi’ah terdiri atas ijab qabul. Yakni, pemilik aset berkata : “Aku titipkan barangku ini kepada engkau atau jagalah barang ini, atau ambillah barang ini dan jagalah”. Kemudian pihak yang lain menerimanya. Orang yang melakukan kontrak disyaratkan orang yang berakal. Anak kecil yang tidak berakal (mumayyiz) yang telah diizinkan oleh walinya, boleh melakukan akad wadi’ah, mereka tidak mengsyaratkan baligh dalam soal wadi’ah. Sedangkan orang gila tidak dibenarkan melakukan akad wadi’ah.
Menurut jumhur ulama’ rukun akad wadi’ah terdiri atas ‘aqidan (orang yang berakad meliputi penitip dan penerima), wadi’ah (barang yang dititipkan), dan sighat (ijab qabul). Adapun syarat dari ‘aqidan (orang yang melakukan akad wadi’ah) adalah baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak secara hukum), karena akad wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung risiko penipuan. Oleh sebab itu, anak kecil kendatipun sudah berakal, tidak dapat melakukan akad wadi’ah baik sebagai orang yang menitipkan maupun sebagai orang yang menerima titipan. Disamping itu, jumhur ulama’ juga mensyaratkan, bahwa orang yang berakad itu harus cerdas, walaupun ia sudah baligh dan berakal. Sebab, orang baligh dan berakal belum tentu dapat bertindak secara hukum, terutama sekali apabila terjadi persengketaan. Untuk wadi’ah (barang titipan) disyaratkan harus jelas, dapat dipegang dan dikuasai. Maksudnya barang titipan itu dapat diketahui jenisnya atau identitasnya dan dikuasai untuk dipelihara atau dijaga.

• Sikap akad wadi’ah
Para ulama’ fiqh sepakat mengatakan, bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak. Akan tetapi apakah tanggung jawab memelihara barang itu bersifat amanat atau bersifat ganti rugi?. Mereka juga sepakat bahwa status wadi’ah bersifat amanaht bukan ganti rugi (dhamman), sehingga semua kerusakan penitipan tidak menjadi tanggung jawab pihak yang menitipi, berbeda sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya adalah sabda Rasulullah SAW :
“Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan ganti rugi”. (HR. Baihaqi dan Darul-Quthni).

Dalam riwayat lain dikatakan :
“tidak ada ganti rugi terhadap orang yang dipercaya memgang amanat”. (HR.Daru-Quthni).

Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan ganti rugi atas orang yang dititipi maka akad itu tidak sah. Kemudian orang yang dititipi juga harus menjaga amanat dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari orang yang menitipkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar