Al-Wadi’ah
Secara bahasa wadi’ah bisa diartikan dengan meningalkan
atau titipan, sedangkan secara istilah wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan
oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Ada
juga yang mengatakan bahwa wadi’ah adalah memanfaatkan sesuatu di tempat yang
bukan pada pemiliknya untuk dipelihara atau dijaga. Akad
wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong-menolong antara sesama manusia. Menurut para ulama’ madzhab hanafi
mendefinisikan wadi’ah sebagai berikut :
“Mengikutsertakan
orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas maupun
melalui isyarat”
Sebagai contoh, ada seseorang mengatakan : “Saya titipkan
tas saya ini pada anda”, lalu dijawab : “Saya terima”, dengan dekian
sempurnalah akad wadi’ah atau juga dengan cara : “Saya titipkan tas saya ini
pada anda”, tetapi orang yang dititipi diam saja (tanda setuju).
Sedangkan
menurut para ulama’ Syafi’i, Maliki, dan Hanbali (Jumhur Ulama) mendefinisikan
wadi’ah sebagai berikut :
“Mewakilkan
orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”.
Atau
pemberian mandat untuk menjaga sebuah barang yang dimiliki atau barang yang
secara khusus dimiliki seseorang, dengan cara tertentu.
•
Landasan (dasar) hukum wadi’ah
Konsep
wadi’ah mendapat pengakuan dan legalitas syara’, diantaranya firman Allah dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa : 58 yang berbunyi :
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ
بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat. (QS An-Nisa : 58)
Menurut
para Mufassir, ayat ini berkaitan dengan penitipan kunci Ka’bah kepada Ustman
bin Thalhah (seorang sahabat Nabi), sebagai amanat dari Allah SWT. Dan juga
dalam Al-Qu’an surat Al-baqarah : 283, yang berbunyi :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ
مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ
آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Artinya:
jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya,
Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah : 283).
Dan hadits Rasulullah
SAW yang berbunyi :
“Serahkanlan amanat
kepada orang yang mempercayai anda dan janganlah anda mengkhianati orang yang
mengkhianati anda”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Hakim).
Berdasarkan ayat-ayat
dan hadits di atas, para ulama’ sepakat mengatakan bahwa akad wadi’ah (titipan)
hukumnya mandub (disunatkan), dalam rangka tolong-menolong sesama manusia. Oleh
sebab itu, Ibnu Qudamah menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah sampai generasi
berikutnya, wadi’ah telah menjadi ijma’ ‘amali yaitu consensus dalam praktek
bagi umat Islam dan tidak ada orang yang menentangnya.
• Rukun dan Syarat
Menurut Hanafiyah rukun
wadi’ah terdiri atas ijab qabul. Yakni, pemilik aset berkata : “Aku titipkan
barangku ini kepada engkau atau jagalah barang ini, atau ambillah barang ini
dan jagalah”. Kemudian pihak yang lain menerimanya. Orang yang melakukan
kontrak disyaratkan orang yang berakal. Anak kecil yang tidak berakal
(mumayyiz) yang telah diizinkan oleh walinya, boleh melakukan akad wadi’ah,
mereka tidak mengsyaratkan baligh dalam soal wadi’ah. Sedangkan orang gila
tidak dibenarkan melakukan akad wadi’ah.
Menurut jumhur ulama’
rukun akad wadi’ah terdiri atas ‘aqidan (orang yang berakad meliputi penitip
dan penerima), wadi’ah (barang yang dititipkan), dan sighat (ijab qabul).
Adapun syarat dari ‘aqidan (orang yang melakukan akad wadi’ah) adalah baligh,
berakal dan cerdas (dapat bertindak secara hukum), karena akad wadi’ah
merupakan akad yang banyak mengandung risiko penipuan. Oleh sebab itu, anak
kecil kendatipun sudah berakal, tidak dapat melakukan akad wadi’ah baik sebagai
orang yang menitipkan maupun sebagai orang yang menerima titipan. Disamping
itu, jumhur ulama’ juga mensyaratkan, bahwa orang yang berakad itu harus
cerdas, walaupun ia sudah baligh dan berakal. Sebab, orang baligh dan berakal
belum tentu dapat bertindak secara hukum, terutama sekali apabila terjadi
persengketaan. Untuk wadi’ah (barang titipan) disyaratkan harus jelas, dapat
dipegang dan dikuasai. Maksudnya barang titipan itu dapat diketahui jenisnya
atau identitasnya dan dikuasai untuk dipelihara atau dijaga.
• Sikap akad wadi’ah
Para ulama’ fiqh
sepakat mengatakan, bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah pihak.
Akan tetapi apakah tanggung jawab memelihara barang itu bersifat amanat atau
bersifat ganti rugi?. Mereka juga sepakat bahwa status wadi’ah bersifat amanaht
bukan ganti rugi (dhamman), sehingga semua kerusakan penitipan tidak menjadi
tanggung jawab pihak yang menitipi, berbeda sekiranya kerusakan itu disengaja
oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya adalah sabda Rasulullah SAW :
“Orang yang dititipi
barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan ganti rugi”. (HR.
Baihaqi dan Darul-Quthni).
Dalam riwayat lain
dikatakan :
“tidak ada ganti rugi
terhadap orang yang dipercaya memgang amanat”. (HR.Daru-Quthni).
Dengan demikian,
apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan ganti rugi atas orang yang dititipi
maka akad itu tidak sah. Kemudian orang yang dititipi juga harus menjaga amanat
dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari orang yang menitipkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar